Sejarah Kerajaan Daha ini saya dapatkan dari melayuonline.com. Semoga postingan ini bisa lebih mengenalkan daerah Negara/Daha kepada pembaca berdasarkan rekam jejak historinya.
Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Melayu
pra-Islam yang pernah eksis di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini merupakan
kelanjutan dari dua kerajaan sebelumnya, yakni Kerajaan Nan
Sarunai yang dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan dan
Kerajaan Negara Dipa oleh orang-orang dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Negara
Daha juga merupakan salah satu rangkaian pemerintahan yang kelak menjelma
menjadi Kesultanan Banjar
yang bercorak Islam.
1. Sejarah
Riwayat berdirinya Kerajaan Negara Daha sangat
bersinggungan dengan sejarah dua kerajaan lain yang menjadi cikal-bakal
kemunculan kerajaan bercorak Hindu di Kalimantan Selatan. Dua kerajaan yang
menjadi pendahulu Kerajaan Negara Daha tersebut adalah Kerajaan Nan Sarunai dan
Kerajaan Negara
Dipa. Kerajaan Nan Sarunai adalah suatu pemerintahan purba yang
diperkirakan sudah eksis sejak zaman Sebelum Masehi. Bukti arkeologis yang
ditemukan menyebutkan bahwa kerajaan ini mulai muncul antara tahun 242-226
Sebelum Masehi dan dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan (Vida Pervaya
Rusianti Kusmartono & Harry Widianto, 1998:19-20).
Eksistensi Kerajaan Nan Sarunai bertahan cukup lama.
Memasuki abad ke-14, benih-benih keruntuhan kerajaan ini mulai muncul. Kerajaan
Majapahit yang berpusat di Trowulan (Mojokerto, Jawa Timur), berambisi untuk
menguasainya. Pada sekitar tahun 1355 Masehi, Hayam Wuruk, penguasa Kerajaan
Majapahit waktu itu, memerintahkan panglimanya yang bernama Empu Jatmika untuk
menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai (Tajuddin Noor Ganie, 2009). Akhirnya,
Kerajaan Nan Sarunai menjadi bagian dari kekuasaan imperium Majapahit.
Peristiwa ini dikenang oleh para seniman lokal dalam tutur wadian atau
puisi ratapan yang dilisankan dalam bahasa Maanyan. Para seniman lokal
mengenang keruntuhan Kerajaan Nan Sabunai sebagai peristiwa “Usak Jawa” atau
“Penyerangan oleh Kerajaan Jawa” (Ganie, 2009). Sedangkan Fridolin Ukur (1977)
menyebutnya sebagai “kerajaan orang Dayak Maanyan yang rusak oleh Jawa” (Ukur,
1977:46).
Empu Jatmika kemudian membangun kerajaan baru di Pulau
Hujung Tanah yang merupakan bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai.
Kerajaan baru ini diberi nama Kerajaan Negara Dipa. Nama “Dipa” diambil dari
bahasa Dayak Maanyan, yakni “dipah ten” yang berarti “kerajaan yang terletak di
seberang” (Ganie, 2009). Pemberian nama dengan makna “kerajaan yang terletak di
seberang” ini sangat mungkin mengacu pada letak Kerajaan Negara Dipa yang
berada di seberang lautan jika ditempuh dari Kerajaan Majapahit yang berlokasi
di Jawa.
Berbeda dengan Kerajaan Nan Sarunai yang eksis hingga ratusan
tahun lamanya, Kerajaan Negara Dipa yang mulai berdiri pada tahun 1355 M itu
hanya bertahan kurang dari satu abad saja. Keruntuhan Kerajaan Negara Dipa
berawal dari kepemimpinan Raden Sekar Sungsang atau yang dikenal juga dengan
nama Raden (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa sejak tahun 1448 M. Pada
masa inilah Kerajaan Negara Dipa mulai menuai keruntuhannya dan pada akhirnya
digantikan oleh sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Negara Daha.
Sama halnya dengan Kerajaan Nan Sarunai dan Kerajaan Negara
Dipa, para sejarawan dan peneliti menggunakan Hikayat Banjar sebagai
sumber utama dalam upaya melacak riwayat Kerajaan Negara Daha, yaitu dari
cerita tutur yang termaktub dalam hikayat ini. Sejarah Indonesia pada umumnya
dalam menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu pada historiografi
tradisional, seperti babad, hikayat, atau cerita rakyat. Historiografi
tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu
etnosentrisme, rajasentrisme, dan antroposentrisme (Sartono Kartodirdjo,
1993:7). Hikayat Banjar ditulis sepanjang 4.787 baris atau 120 halaman.
Informasi yang diperoleh dari Hikayat Banjar ditandai oleh sifat-sifat
mistis, legendaris, dan tidak ada unsur waktu dalam urutan ceritanya (M.
Suriansyah Ideham, [eds.], 2003). Menurut Johannes Jacobus Ras (1968),
penulisan Hikayat Banjar terbagi menjadi dua versi. Pertama adalah versi
yang diubah dan disusun pada masa Kesultanan Banjar yang telah memeluk Islam,
sedangkan versi kedua adalah versi dari Kerajaan Negara Dipa (dan Kerajaan
Negara Daha) yang memeluk agama Hindu (Ras, 1968:238).
Hikayat Banjar meriwayatkan, beralihnya Kerajaan Negara Dipa menjadi Kerajaan Negara Daha
terjadi pada masa pemerintahan Raden Sekar Sungsang atau Pangeran (Maharaja)
Sari Kaburangan yang berkuasa sejak tahun 1448 M. Terdapat peristiwa yang
mewarnai pemerintahan Kerajaan Negara Dipa pada masa sebelum dan hingga Raden
Sekar Sungsang dinobatkan menjadi raja. Raja terakhir Kerajaan Negara Dipa ini
telah menikahi ibunya sendiri, yaitu Putri (Ratu) Kalungsu. Ratu Kalungsu
adalah pemimpin Kerajaan Negara Dipa sebelum era pemerintahan Raden Sekar
Sungsang, yakni pada periode 1436-1448 M (Adum M. Sahriadi, 2009).
Kisah perkawinan ibu dan anak itu diceritakan dalam Hikayat
Banjar. Dikisahkan, Putri Kalungsu melahirkan seorang anak laki-laki yang
diberi nama Raden Sekar Sungsang. Pada suatu hari, ketika sang pangeran berusia
enam tahun, Putri Kalungsu sedang membuat kue (dalam Hikayat Banjar
disebutkan dengan nama juadah) dan Raden Sekar Sungsang sesekali mendekati
ibundanya untuk meminta makan. Putri Kalungsu meminta anaknya pergi sejenak
sembari menunggu matangnya juadah. Namun, rupanya Raden Sekar Sungsang tidak
dapat lagi menahan seleranya, juadah yang belum matang itu dimakannya. Putri
Kalungsu menjadi marah dan kemudian memukul kepala Raden Sekar Sungsang dengan
sendok. Akibat kemurkaan sang ibu, Raden Sekar Sungsang melarikan diri dengan
kepala yang masih bercucuran darah menuju pelabuhan. Seorang saudagar dari Jawa
bernama Juragan Balaba melihat Raden Sekar Sungsang yang sedang kalut kemudian
mengajaknya untuk ikut berlayar ke Jawa. Juragan Balaba merasa anak muda yang
dilihatnya itu bukan anak sembarangan karena dari tubuhnya mengeluarkan cahaya
terang (Adum M. Sahriadi, 2009).
Sementara itu di istana, Putri Kalungsu memerintahkan
pencarian Raden Sekar Sungsang ke seluruh pelosok negeri. Akhirnya diperoleh
kabar bahwa tentang sebuah kapal yang berlayar dengan membawa anak kecil, namun
belum dapat dipastikan apakah anak yang dimaksud adalah Raden Sekar Sungsang
atau bukan. Mangkubumi (patih/perdana menteri) Kerajaan Negara Dipa, Lambung
Mangkurat, kemudian mengirim empat kapal untuk mengejar kapal itu. Empat kapal
milik Kerajaan Negara Dipa itu akhirnya tiba di seberang lautan, tepatnya di
sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan nama Surabaya (Jawa Timur). Akan
tetapi, meskipun Lambung Mangkurat telah mengirim sejumlah penyidik untuk
mencari tahu keberadaan Raden Sekar Sungsang, namun keberadaan sang pangeran
masih belum dapat dilacak juga (Sahriadi, 2009).
Sebenarnya Raden Sungsang ada Surabaya. Ia diangkat anak
oleh Juragan Balaba dan memakai nama Ki Mas Lelana (Kiai Mas Lalana). Setelah
ayah angkatnya meninggal dunia, Ki Mas Lelana tetap tinggal di Surabaya bersama
ibu angkatnya. Pada suatu hari, Ki Mas Lelana mengungkapkan keinginannya ingin
pergi ke Kerajaan Negara Dipa dengan menumpang kapal Juragan Dampu Awang, teman
Juragan Balaba. Pada awalnya, ibu angkat Ki Mas Lelana keberatan. Akan tetapi,
karena melihat ketetapan hati anak angkatnya, maka kemudian janda Juragan
Balaba itu mengizinkan Ki Mas Lelana untuk pergi ke Kerajaan Negara Dipa
bersama Juragan Dampu Awang (Rosyadi, et al. 1993:149).
Sesampainya di pelabuhan Muara Bahan, Juragan Dampu Awang
yang dibantu Ki Mas Lelana mulai berdagang. Kebetulan, Lambung Mangkurat sedang
berada di pelabuhan. Lambung Mangkurat tampaknya tertarik pada kecakapan Ki Mas
Lelana dan kemudian membujuk Ki Mas Lelana untuk tinggal di istana Kerajaan
Negara Dipa (Sahriadi, 2009). Rupa-rupanya, Lambung Mangkurat, yang tidak
mengetahui bahwa Ki Mas Lelana sebenarnya adalah Raden Sekar Sungsang, berniat
menjodohkan anak muda itu dengan Ratu Kalungsu yang sudah lama menjanda. Pada
waktu itu, Ratu Kalungsu adalah penguasa Kerajaan Negara Dipa. Ratu Kalungsu
(berkuasa pada periode (1436-1448 M) meneruskan tahta suaminya, yakni Raden
(Maharaja) Carang Lalean (berkuasa pada kurun 1421-1436 M), karena putra
mahkota, yaitu Raden Sekar Sungsang, tidak diketahui keberadaannya.
Singkat cerita, akhirnya digelarlah pesta perkawinan
antara Ki Mas Lelana dengan Ratu Kalungsu. Pada suatu waktu, ketika Ratu
Kalungsu sedang membersihkan kepala Ki Mas Lelana, ia melihat tanda bekas luka
di kepala suaminya itu. Ratu Kalungsu kemudian bertanya mengapa luka itu bisa
terjadi. Mula-mula Ki Mas Lelana menerangkan bahwa ia sendiri pun tidak
mengetahuinya. Tetapi ketika istrinya terus-menerus mendesak, akhirnya ia
menceritakan kisahnya. Ki Mas Lelana berkisah, saat masih kecil, ia pernah
mendapat pukulan di kepala dari ibunya hingga terluka. Diceritakan juga oleh Ki
Mas Lelana bahwa ia kemudian lari dan beberapa tahun tinggal di Jawa, ikut
dengan Juragan Balaba (Rosyadi, et al., 1993:149). Alangkah terkejutnya
Ratu Kalungsu mendengar cerita itu. Ki Mas Lelana pun sama terperanjatnya dan
memohon ampun serta meminta supaya Ratu Kalungsu membunuhnya. Ratu Kalungsu
memutuskan bahwa mereka harus bercerai untuk selama-lamanya. Selain itu, Ratu
Kalungsu mengganti nama Ki Mas Lelana atau Raden Sekar Sungsang dengan Raden
Sari Kaburangan (Sahriadi, 2009).
Pada tahun 1448 M, Raden Sari Kaburangan dinobatkan
sebagai pemimpin Kerajaan Negara Dipa dan berhak menyandang gelar sebagai
Maharaja sebagai simbol penguasa tertinggi. Maharaja Sari Kaburangan berhak
menjadi Raja Kerajaan Negara Dipa karena ia adalah putra mahkota yang memang
sudah diproyeksikan untuk menduduki tahta Kerajaan Negara Dipa meski kemudian
terjadi berbagai kejadian yang menggemparkan, yakni dimulai dari hilangnya
Raden Sekar Sungsang hingga peristiwa pernikahannya dengan ibu kandungnya sendiri.
Setahun setelah Maharaja Raden Sari Kaburangan berkuasa
di Kerajaan Negara Dipa, ia memindahkan kedudukan pusat pemerintahan ke Muara
Hulak, atau di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Negara. Sejak tahun
1449 M itulah, Kerajaan Negara Daha resmi berdiri. Dalam Hikayat Banjar
dikisahkan bahwa tidak lama setelah Kerajaan Negara Daha berdiri, Ratu Kalungsu
yang masih tinggal di bekas istana Kerajaan Negara Dipa, menghilang secara
misterius (muksa) bersama 500 orang pengiringinya. Pada waktu yang hampir
bersamaan, sang Mangkubumi, Lambung Mangkurat meninggal dunia. Pengganti
Lambung Mangkurat adalah Aria Taranggana untuk mendampingi Maharaja Sari
Kaburangan mengelola pemerintahan Kerajaan Negara Daha (Sahriadi, 2009).
Ganie (2009) menyebutkan bahwa tampilnya Maharaja Sari
Kaburangan sebagai raja di Kerajaan Negara Daha merupakan peristiwa yang
menandai pulihnya kembali hegemoni etnis Suku Dayak Maanyan sebagai penguasa di
tanah leluhurnya sendiri, sama seperti yang berlaku pada masa Kerajaan Nan Sarunai
dahulu. Di dalam tubuh Maharaja Sari Kaburangan memang mengalir darah Jawa
(dari Majapahit) yang diwarisinya dari kakek buyutnya yakni Pangeran Suryanata
(penguasa Kerajaan Negara Dipa pada kurun 1362-1358 M). Namun, darah Jawa itu
sudah semakin memudar karena Maharaja Sari Kaburangan merupakan generasi ke-4
alias buyut. Ini berarti, secara genetik, darah yang mengalir di dalam tubuhnya
didominasi oleh darah Suku Dayak Maanyan (Ganie, 2009).
Baik Kerajaan Negara Dipa maupun Kerajaan Negara Daha,
masih memiliki koleksi barang-barang atau pusaka yang berasal dari Kerajaan
Majapahit. Anton Abraham Cense (1928) dalam penelitiannya bertajuk De
Kroniek van Bandjarmasin menyebutkan beberapa jenis pusaka tersebut, antara
lain mahkota kerajaan, gamelan yang bernama Larasati, gong yang bernama Rambut
Peradah, canang bernama Macan Papatuk, tombak bernama Panutus, dan keris yang
bernama Masagirang dan Jokopiturun (Cense, 1928: 147-148). Selain itu, seperti
yang disebutkan oleh W.A. van Rees (1865, dalam Ideham, [eds.], 2003),
Kerajaan Negara Daha juga masih memiliki pusaka peninggalan Majapahit lainnya,
yaitu singgasana, emas, payung kerajaan, keris bernama Baru Lembah dan Naga
Salira dengan sarungnya yang terbalut dari emas dan gagangnya bertahtakan
berlian, sebilah pedang, lima buah tombak, beberapa buah perisai yang terbuat
dari emas dan perak, serta seperangkat gamelan dan kain langgundi (Rees,
1865:28-29, dalam Ideham, [eds.], 2003).
Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman
Kerajaan Negara Daha adalah penemuan sebuah candi yang kemudian dikenal sebagai
Candi Laras. Candi ini terletak di pinggiran Desa Margasari, Kecamatan Candi
Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Desa Margasari
terkenal akan wisata sungainya serta masyarakatnya yang berprofesi sebagai
perajin anyaman rotan sejak ratusan tahun. Pada abad ke-14 M, desa ini
merupakan gerbang bandar Kerajaan Negara Dipa. Pengujian yang dilakukan
terhadap tiang bangunan Candi Laras menghasilkan angka tahun dengan kisaran 1240-1426
M. Selain itu, Candi Agung, prasasti yang ditemukan sebelumnya dan yang
diduga sudah ada sejak zaman Kerajaan Nan Sarunai, juga masih digunakan pada
masa Kerajaan Negara Daha (Ganie dalam Radar Banjar, 7 Desember 2004).
Era pemerintahan Maharaja Sari Kaburangan berakhir pada
tahun 1486 M. Selanjutnya, tahta tertinggi pemerintahan Kerajaan Negara Daha
dilanjutkan oleh Raden Paksa yang kemudian menyandang gelar sebagai Maharaja
Sukarama. Pada masa pemerintahan raja ke-2 Kerajaan Negara Daha ini, tepatnya
pada tahun 1511 M, Kerajaan Negara Daha menerima kedatangan orang-orang Melayu
dari Kesultanan Melaka. Orang-orang Melayu Semenanjung tersebut melakukan
migrasi massal seiring dengan takluknya Kesultanan Melaka oleh bangsa Portugis.
Para imigran dari Melaka ini kemudian menetap di tepi kiri dan kanan Sungai
Kuin atau di Muara Kuin (Banjarmasin) dan bergabung dengan suku bangsa Melayu
lainnya (Ganie, 2009).
Pada akhir era pemerintahan Maharaja Sukarama, terjadi
pertikaian di lingkungan internal Kerajaan Negara Daha. Permasalahan dimulai
ketika pada tahun 1515 M, Maharaja Sukarama mengeluarkan wasiat agar kelak
kekuasaan tertinggi Kerajaan Negara Daha dilimpahkan kepada cucunya yang
bernama Raden Samudera. Kebijakan ini mendapat tentangan dari ketiga putra
Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi, Pangeran Tumenggung
(Tomonggong), dan Pangeran Bagalung (Ideham, [eds.], 2003; Ganie, 2009).
Benih-benih perpecahan mulai tumbuh di kalangan keluarga
istana Kerajaan Negara Daha. Ketika Maharaja Sukarama meninggal dunia pada
tahun 1525 M, atau sepuluh tahun setelah dikeluarkannya wasiat yang menunjuk
Raden Samudera sebagai calon raja, terjadilah perselisihan di antara keturunan
Maharaja Sukarama. Putra sulung Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi,
yang merasa dilangkahi oleh keponakannya sendiri (Raden Samudera), merasa tidak
terima dan kemudian merebut tahta Kerajaan Negara Daha yang sebenarnya bukan
menjadi haknya (Ganie, 2009).
Raden Samudera yang masih berusia belia diungsikan ke
hilir Sungai Barito, tepatnya di Muara Kuin. Raden Samudera mendapat
perlindungan dari beberapa kelompok suku bangsa yang bermukim di Muara Kuin,
terutama oleh komunitas orang-orang Melayu. Oleh orang-orang Dayak Manyaan,
kampung orang-orang Melayu di Muara Kuin itu dengan nama “Banjar Oloh Masih”,
yang berarti kampungnya orang Melayu dengan pemimpinnya yang bernama Pati
Masih (Ideham, [eds.], 2003). Banjar Oloh Masih lambat-laun disingkat menjadi
Banjarmasih hingga akhirnya menjadi Banjarmasin hingga sekarang. Namun, pada
tahun 1525 M itu, Maharaja Aria Pangeran Mangkubumi tewas dibunuh. Setelah Aria
Pangeran Mangkubumi meninggal dunia, Pangeran Tumanggung menobatkan dirinya
sebagai raja Kerajaan Negara Daha yang baru (Ganie, 2009).
Sementara itu, Raden Samudera, pewaris tahta Kerajaan
Negara Daha yang sah, semakin mendapat tempat di kalangan orang-orang Melayu
yang bermukim di Muara Kuin atau Banjarmasih. Dalam pelarian politiknya, Raden
Samudera melihat bahwa Banjarmasih merupakan kekuatan potensial untuk mengadakan
perlawanan terhadap Kerajaan Negara Daha. Potensi Banjarmasih untuk menentang
kekuatan pusat akhirnya mendapat pengakuan ketika Raden Samudera diangkat
menjadi pemimpin oleh kelompok Melayu di daerah itu (Ideham, [eds.], 2003).
Pengangkatan Raden Samudera sebagai pemimpin di
Banjarmasih melambangkan terbentuknya kekuatan politik tandingan, perpaduan
kultural, dan kelak merupakan embrio bagi kelahiran urang Banjar dan
Kesultanan Banjar. Terbentuknya kekuatan politik baru di Banjarmasih bagi
Raden Samudera merupakan kekuatan tandingan untuk memperoleh haknya sebagai
calon raja yang sah di Kerajaan Negara Daha, sedangkan bagi kelompok Melayu,
independensi mereka di Banjarmasih menjadi bentuk perlawanan untuk tidak
membayar pajak kepada Kerajaan Negara Daha (Ideham, [eds.], 2003).
Konflik yang terjadi kemudian adalah perang saudara yang
melibatkan kubu Pangeran Tumenggung dengan pihak Raden Samudera. Perang saudara
antara keponakan dengan paman ini memakan korban jiwa yang cukup besar. Untuk
melawan pasukan Kerajaan Negara Daha yang lebih kuat, Raden Samudera meminta
bantuan dari Kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Jawa yang menggantikan
hegemoni Kerajaan Majapahit) yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggono
(berkuasa sejak tahun 1524 M). Sultan Trenggono menyanggupi permintaan Raden
Samudera dengan syarat, Raden Samudera harus memeluk agama Islam jika ia
berhasil memenangkan perang saudara itu (Ganie, 2009).
Pada tahun 1526 M, Raden Samudera berhasil mengalahkan
Pangeran Tumenggung dan resmi menjadi penguasa tunggal di bekas wilayah
Kerajaan Negara Daha. Kemenangan Raden Samudera menandai berakhirnya riwayat
Kerajaan Negara Daha sekaligus menjadi awal dari berdirinya Kesultanan Banjar
yang bercorak Islam. Setelah mengalahkan Kerajaan Negara Daha, Raden Samudera
memeluk agama Islam dan menobatkan dirinya sebagai pemimpin Kesultanan Banjar
dengan gelar Sultan Suriansyah sejak tanggal 25 September 1526 M (Ganie, 2009).
Pusat pemerintahan Kesultanan Banjar berada di Banjarmasin. Selain itu, Sultan
Suriansyah memindahkan penduduk Kerajaan Negara Daha ke Banjarmasin (Ideham, et.al.,
2003). Inilah masa dimulainya proses kemajemukan di Banjarmasin, di mana
masyarakatnya terdiri dari orang-orang dari berbagai suku bangsa, yaitu
orang-orang Dayak, Melayu, dan Jawa.
2. Silsilah
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah
duduk sebagai pemimpin Kerajaan Negara Daha:
- Maharaja Sari Kaburangan atau Raden Sakar Sungsang atau Panji Agung Rama Nata atau Ki Mas Lelana (1448-1486 M).
- Maharaja Sukarama atau Raden Paksa (1486-1525 M).
- Maharaja Pangeran Aria Mangkubumi (1525 M).
- Maharaja Pangeran Tumenggung atau Raden Panjang (1525-1526 M) (Ideham, [eds.], 2003; Ganie, 2009; Regnal Chronologies, Southeast Asia: The Island, dalam http://web.raex.com).
3. Sistem
Pemerintahan
Kepemimpinan dalam masyarakat tradisional berakar kepada
struktur sosial yang tertata berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status (Max
Webber, 1966:333). Status seorang pemimpin cenderung berkaitan dengan penilaian
sosial terhadap kehormatan dan citra, sedangkan pembagian atas kelas-kelas
sosial bersifat pembagian politik (M.Z. Arifin Anis, 1994:31). Dalam struktur
politik pemerintahan Kerajaan Negara Daha, raja adalah titik pusat kekuasaan.
Raja Negara Daha sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam hierarki kerajaan
mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya
atribut-atribut kerajaan, seperti benda-benda pusaka, gelar, atau
mitos-mitos geneologi yang berfungsi untuk mengabsahkan kedudukan raja
sebagai penguasa (Ideham, [eds.], 2003).
Kedudukan raja dalam sistem pemerintahan Kerajaan Negara
Daha diwarisi secara turun-temurun sesuai dengan garis geneologi atau
kekerabatan. Posisi raja bersifat keramat karena dianggap mempunyai kesaktian
yang dapat menambah wewenang (Anis, 1994:76). Wewenang raja pada dasarnya
merupakan salah satu komponen kekuasaan. Kerabat raja berada pada tataran
kedudukan tinggi yang juga berhak menguasai rakyat sebagai hambanya. Jika
dicermati, wewenang yang dimiliki oleh raja memungkinkan sekali baginya untuk
bertindak absolut (Ideham, [eds.], 2003). Namun, meskipun memiliki wewenang
yang cukup besar, namun belum berarti seorang raja dapat menguasai seluruh
kekuasaan karena faktor kekayaan turut menentukan kedudukan raja (Anis,
1994:82).
Proses suksesi kekuasaan yang berlaku di Kerajaan Negara
Daha diterangkan dalam Hikayat Banjar. Menurut penelitan yang dilakukan
oleh Ras (1968), berdasarkan Hikayat Banjar, ada sejumlah persyaratan
yang harus dipenuhi oleh kandidat raja atau putra mahkota, yakni (1) pangeran
yang dipilih sebagai putra mahkota harus benar-benar keturunan raja dari
permaisuri, (2) dapat berbuat adil kepada rakyat dan keluarga, (3) terbuka
untuk menerima saran dan kritik, (4) tidak boleh memiliki sifat iri dan dengki,
(4) bersedia menyelesaikan setiap persoalan yang ada melalui mufakat (Ras,
1968:276). Apabila putra mahkota dianggap belum cukup umur untuk menjabat sebagai
raja, maka untuk sementara, kendali pemerintahan kerajaan dijalankan oleh
sistem perwalian yang terdiri dari kerabat raja (Ideham, 2003). Orang yang
biasanya bertindak sebagai pemimpin sementara sembari menunggu putra mahkota
dewasa dan dirasa berhak memimpin pemerintahan adalah Mangkubumi (Patih),
jabatan yang setara dengan perdana menteri.
Penobatan seorang putra mahkota menjadi raja dilakukan
melalui suatu ritual upacara. Ritual upacara suci yang dianggap sebagai simbol
kekuasaan raja ini dikenal sebagai upacara badudusan. Anis (2004)
menyebutkan bahwa upacara ini dimulai ketika seluruh kerabat sudah berkumpul.
Putra mahkota atau calon raja duduk di sebelah kursi lalu diperciki dengan air
suci oleh keluarga yang sedarah dengan raja. Kemudian, air suci itu dibawa ke
dalam istana dan ditimbang sebanyak tiga kali. Jika sudah diketahui beratnya,
maka calon raja diukur dengan benang emas dan perak. Setelah itu, diadakan
pesta selama tujuh hari tujuh malam. Selanjutnya adalah hari penobatan putra
mahkota sebagai raja, yakni dilakukan pada hari ke delapan (Anis, 2004:80).
Sebenarnya upacara penobatan raja merupakan salah satu cara untuk mengesahkan
kedudukan raja (Ideham, 2003). Upacara badudusan ini mulai diperkenalkan
sejak Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata diangkat menjadi raja di
Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1362 M (Ras, 1968:320).
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja Negara Daha
sebagai pemimpin tertinggi mendelegasikan kekuasaannya ke bawah melalui jabatan
birokrasi. Jabatan birokrasi ini biasanya diemban oleh kerabat raja. Model
birokrasi seperti ini dikenal sebagai model birokrasi patrimonial (Ideham,
[eds.], 2003). Para pelaku dan jabatan sistem pemerintahan yang diterapkan di
Kerajaan Negara Daha hampir sama dengan yang berlaku di Kerajaan Negara Dipa
pada masa-masa sebelumnya. Raja Negara Dipa sebagai puncak piramida kekuasaan
didukung oleh seseorang yang dipercaya sebagai Mangkubumi. Mangkubumi adalah
jabatan yang paling strategis karena seorang Mangkubumi mempunyai pengaruh yang
sangat besar dalam segala kebijakan yang dikeluarkan oleh raja. Dalam mengelola
pemerintahan kerajaan, Mangkubumi memimpin dan mengkoordinasi tugas
pejabat-pejabat kerajaan lainnya, seperti Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi, dan
40 orang Mantri Sikep (Ideham, [eds.], 2007:35).
Selain itu, terdapat sejumlah jabatan dan wewenang yang
berlaku dalam pemerintahan Kerajaan Negara Daha, yaitu Lelawang (kepala
distrik), Sarabraja (koordinator pasukan penjaga keluarga istana), Sarayuda
(koordinator pasukan pengawal pribadi raja), Singapati (koordinator pasukan
Parabawa yang bertugas menjaga keamanan kerajaan, Saradipa (koordinator pasukan
penjaga senjata), Puspawana (koordinator pasukan Tuhaburu yang bertugas
mengawal raja ketika raja sedang pergi berburu), Rasajiwa (koordinator petugas
pembantu istana, Pamayungan (penghias balai), Wargasari (koordinator petugas
penyedia makanan kerajaan), Anggaprana (koordinator pujangga istana),
Mangkumbara (kepala urusan upacara), Wiramartas (bertugas untuk mengadakan
hubungan dagang dengan luar negeri, Bujangga (kepala urusan bangunan rumah
peribadatan), dan Singabana (bertanggungjawab atas terjaminnya ketenteraman
umum) (Ideham, [eds.], 2007:36).
4. Wilayah
Kekuasaan
Dalam buku Sejarah Banjar suntingan Ideham dan
kawan-kawan (2003) disebutkan bahwa secara garis besar, keseluruhan wilayah
Kerajaan Negara Daha terbagi atas dua bagian, yakni wilayah negara (kraton) dan
daerah taklukan. Bagian yang pertama, yakni wilayah negara (kraton) merupakan
wilayah unit politik terbesar. Istilah “negara” sendiri menunjukkan
adanya suatu kawasan pemerintah di bawah seorang penguasa tertinggi yang
memakai gelar kehormatan maharaja di depan namanya dengan pemerintahan yang
merdeka. Wilayah negara disebut juga sebagai wilayah inti yang merupakan pusat
pemerintahan kerajaan sekaligus berfungsi sebagai ibukota negara.
Pusat pemerintahan Kerajaan Negara Daha terletak di
sebuah tempat yang dikenal dengan nama Muara Hulak. Selain itu, kerajaan ini
juga mempunyai pelabuhan dan bandar dagang yang terletak di Muara Bahan
(Ideham, [eds.], 2003). Penyebutan “muara” yang terdapat pada Muara Hulak dan
Muara Bahan menunjukkan bahwa kedua tempat itu dekat dengan daerah perairan.
Sejak zaman purba hingga saat ini, sungai-sungai di Kalimantan Selatan memang
berfungsi sebagai tempat konsentrasi permukiman penduduk dan menjadi prasarana
lalulintas yang menghubungkan daerah muara dengan daerah perdalaman. Di
Kalimantan Selatan, sungai adalah jantung kehidupan karena kehidupan mereka
sangat dekat dengan sungai. Antara masyarakat dengan sungai saling
berinteraksi, beradaptasi, dan saling mengisi. Bermula dari fakta inilah maka
etnis di Kalimantan Selatan, termasuk di dalamnya penduduk Kerajaan Negara
Daha, dikenal sebagai suku bangsa yang identik dengan budaya sungai
(Kasnowihardjo, 2004:25-26).
Nama Muara Hulak dan Muara Bahan sebagai pusat
pemerintahan dan pelabuhan Kerajaan Negara Daha disebutkan dalam Hikayat
Banjar. Dalam “Sinopsis Hikayat Banjar” yang disusun Sahriadi (2009)
tercantum nukilan sebagai berikut: “... kemudian Raden Sari Kaburungan
dinobatkan menjadi raja. Setahun kemudian raja memindahkan kedudukan negara ke
Muara Hulak. Kedudukan baru itu disebut Negara Daha dan sampai sekarang ini
tempat itu masih bernama Negara. Di Muara Bahan dibuat sebuah pangkalan
(pelabuhan) yang kemudian ramai sekali didatangi para pedagang.” (Sahriadi,
2009).
Wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Daha meliputi
daerah-daerah yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa,
termasuk juga wilayah yang merupakan daerah taklukan. Hasil penelitian Ras
(1968) dan Ideham (2003) menyebutkan bahwa daerah-daerah yang termasuk ke dalam
wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa dan kemudian beralih menjadi daerah
kekuasaan Kerajaan Negara Daha. Daerah-daerah tersebut antara lain Batang
Tabalong, Batang Balangan, Batang Pitap, Batang Alai, Batang Amandit, Batang
Emas, Sukadana, Sambas, Batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai, Karasikan,
dan Berau (Ras, 1968:333; Ideham, [eds.], 2003). Selain itu, Kerajaan Negara
Daha memperluas daerah kekuasaannya dengan menguasai Sewa Agung dan Bunyut.
Sedangkan menurut C.A.L.M. Schwaner (1953) dalam karyanya yang berjudul Borneo
disebutkan bahwa selama masa pemerintahan Kerajaan Negara Daha, penduduk yang
mendiami aliran Sungai Negara dan Sungai Bahan telah mengalami masa kemakmuran
(Schwaner, 1953:42).
(Iswara N. Raditya/Ker/17/04-2010)
Sumber Foto: Koleksi BKPBM (Fotografer: Aam Ito
Tistomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar