Social Icons

Pages

Senin, 13 Juli 2015

NEGARA DIPA, Cikal Bakal Kerajaan NEGARA DAHA


Sobat Portal Daha, sebelum posting dalam blog ini akan membeber tentang Negara dalam perkembangan kekiniannya, ada baiknya kita melirik sejarah masa lampau dari banua kita. Saya mencoba mengawalinya dari terbentuknya kerajaan Negara Dipa di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara sekarang. Bermula dari kerajaan inilah nantinya akan terbentuk kerajaan Negara Daha.

Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Kerajaan ini adalah pendahulu Kerajaan Negara Daha. Sejak masa pemerintahan Lambung Mangkurat wilayahnya terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting.


Kerajaan Negara Dipa memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut Sakai, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan Banjar. Pada mulanya negara Dipa merupakan bawahan kerajaan Kuripan yang merupakan kerajaan pribumi. Menurut Hikayat Banjar, Negara Dipa merupakan sebuah negeri yang didirikan Empu Jatmika yang berasal dari Keling (Coromandel) yang berjarak dua bulan perjalanan laut menuju pulau Hujung Tanah (Kalimantan). Menurut Veerbek (1889:10) Keling, provinsi Majapahit di barat daya Kediri

Menurut Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia, hal 401 dan 435, Empu Jamatka (atau Empu Jatmika) mendirikan pada tahun 1387, dia berasal dari Majapahit. Diduga Empu Jatmika menjabat sebagai Sakai di Negara Dipa (situs Candi Laras)(Margasari). Empu Jatmika bukanlah keturunan bangsawan dan juga bukan keturunan raja-raja Kuripan, tetapi kemudian dia berhasil menggantikan kedudukan raja Kuripan sebagai penguasa Kerajaan Kuripan yang wilayahnya lebih luas tersebut, tetapi walau demikian Empu Jatmika tidak menyebut dirinya sebagai raja, tetapi hanya sebagai Penjabat Raja (pemangku). 

Setelah perpindahan ibukota kerajaan Negara Dipa dari Candi Laras (Margasari) ke Candi Agung (Amuntai), penggantinya Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat) setelah bertapa di sungai (Tabalong?) berhasil memperoleh Puteri Junjung Buih yang kemudian dijadikan Raja Putri di Negara Dipa. Raja Putri ini sengaja dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang Pangeran yang sengaja dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar Pangeran Suryanata I. Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan mereka berdua inilah yang kelak sebagai raja-raja di Negara Dipa.

Menurut Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika sebagai anaknya sendiri maka setelah dia tua dan mangkat kemudian seluruh wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah yang didiami oleh Empu Jatmika. (Fudiat Suryadikara, Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984)

Kerajaan Negara Dipa semula beribukota di Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir sungai Bahan tepatnya pada suatu anak sungai Bahan, kemudian ibukotanya pindah ke hulu sungai Bahan yaitu Candi Agung (Amuntai), kemudian Empu Jatmika menggantikan kedudukan Raja Kuripan (negeri yang lebih tua) yang mangkat tanpa memiliki keturunan, sehingga nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa. Ibukota waktu itu berada di Candi Agung yang terletak di sekitar hulu sungai Bahan (= sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai Tabalong dan sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan (sungai kecil anak sungai Negara).

Kerajaan ini dikenal sebagai penghasil intan pada zamannya.

Raja Negara Dipa

  1. Periode Raja-raja Kuripan yang tidak diketahui nama penguasa dan masa pemerintahannya. Kerajaan Kuripan ini disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II.
  2. Empu Jatmaka bergelar Maharaja di Candi, saudagar kaya raya dari negeri Keling pendiri Negara Dipa tahun 1387 dengan mendirikan negeri Candi Laras yang terletak pada sebuah anak sungai Bahan (di sebelah hilir). Ia menjadi bawahan raja kerajaan Kuripan, kerajaan pribumi yang lebih dulu eksis. Kemudian Empu Jatmika memerintahkan bentara kanan Tumenggung Tatahjiwa memperluas wilayah dengan menaklukan daerah batang Tabalong, batang Balangan, batang Pitap dan daerah perbukitannya sekitarnya (yang dihuni suku Dayak Meratus). Ia jua memerintahkan bentara kiri Arya Megatsari menaklukan daerah batang Alai, batang Labuan Amas, batang Amandit dan daerah perbukitan sekitar daerah-daerah tersebut. Setelah itu ia memindahkan ibukota dari negeri Candi Laras ke negeri Candi Agung (candi kuno di hulu sungai Bahan) yang terletak di sebalik negeri Kuripan. Ampu Jatmaka sebagai penerus ayah angkatnya raja tua Kerajaan Kuripan yang tidak memiliki keturunan, namun Ampu Jatmaka mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja. Negeri Kuripan, Negeri Candi Laras dan Negeri Candi Agung dan ditambah negeri Batung Batulis dan Baparada (= Balangan) yang disebutkan di dalam Hikayat Banjar Resensi II teks Cense, maka daerah-daerah inilah yang awal mula menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Negara Dipa.
  3. Lambung Mangkurat [= logat Banjar untuk Lembu Mangkurat] sebagai pemangku/penjabat raja. Ia bergelar Ratu Kuripan (karena wilayah tempat tinggalnya adalah bekas negeri Kuripan). Ia puteri kedua Ampu Djatmaka. Ia bertindak sebagai Penjabat Raja menggantikan ayahnya. Ia berhasil memperluas wilayah kerajaan dari Tanjung Silat (Tanjung Selatan) hingga ke Tanjung Puting yaitu wilayah dari sungai Barito sampai sungai Seruyan.
  4. Raden Galuh Ciptasari alias Puteri Ratna Janggala Kediri gelar anumerta Puteri Junjung Buih/Puteri Tunjung Buih (sebagai perwujudan puteri buih/puteri bunga air menurut mitos Melayu) yaitu gadis pribumi yang menjadi saudari (kakak) angkat Lambung Mangkurat. Ketika Raja Puteri Junjung Buih menjadi kepala negara maka Lambung Mangkurat menjabat sebagai Patih (kepala pemerintahan). Pendapat lain menduga Puteri Junjung Buih sama dengan Bhre Tanjungpura dari Majapahit. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura yaitu Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 [= abangnya Suhita] dengan istrinya Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura [= Bhre Kalimantan] dan Bhre Pajang III Sureswari 1429-1450 [= adik bungsu Manggalawardhani] keduanya menjadi istri Bhre Paguhan III 1400-1440 [= ayahnya Sripura] tetapi perkawinan ini tidak memiliki keturunan (menurut Pararaton). Diduga Bhre Tanjungpura menikah lagi dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Menurut Prasasti Trailokyapuri Manggalawardhani kemudian menjadi Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu Ranawijaya (janda Sang Sinagara).
  5. Raden (Rahadyan) Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa gelar anumerta Maharaja Suryanata (sebagai perwujudan raja dewa matahari) yang dilamar/dijemput dari Majapahit dengan persembahan 10 biji intan dijodohkan dengan Putri Junjung Buih. Raja ini berhasil menaklukan raja Sambas, raja Sukadana/Tanjungpura, orang-orang besar/penguasa Batang Lawai (= sungai Kapuas), orang besar/penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir, raja Kutai, orang besar Berau dan raja Karasikan. Menurut Hikayat Banjar Versi II, pasangan ini memperoleh tiga putera yakni Pangeran Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa [adi-vamsa = pengasas dinasti]. Ketiga putera ini memerintah di daerah yang berlainan (a) Undan Besar dan Undan Kuning, (b) Undan Kulon dan Undan Kecil (c) Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis dan Baparada [= Batu Piring?] serta Kuripan. Setelah beberapa lama memerintah [pada tahun 1464?] Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata mengatakan hendak pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh putera-puteranya. Nama Rajasa yang digunakan raja ini kemungkinan kependekan dari Rajasawardhana alias Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yaitu putera sulung Bhre Tumapel III Dyah Kertawijaya 1429-1447. Dyah Wijayakumara [= Bhre Kahuripan VI] memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat orang anak, yaitu Samarawijaya [= Bhre Kahuripan VII], Wijayakarana, [= Bhre Mataram V], Wijayakusuma (= Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya (= Bhre Kertabhumi= Kartapura?= Tanjungpura?).
  6. Aria Dewangsa putera bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata (Hikayat Banjar versi II), menikahi Putri Mandusari alias Putri Huripan bergelar Putri Kabu (Kebo) Waringin [karena minum air susu kerbau putih yang terikat pada pohon beringin] yaitu puteri dari Lambung Mangkurat (alias Ratu Kuripan) dengan Dayang Diparaja [meninggal ketika melahirkan Putri Huripan].
  7. Raden Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga cucu Lambung Mangkurat adalah putera dari pasangan Pangeran Aria Dewangsa dengan Putri Kabu Waringin menurut Hikayat Banjar versi II, tetapi menurut Hikayat Banjar versi I adalah cicit Putri Junjung Buih dan juga cicit Lambung Mangkurat. Menurut versi II, Raden Sekar Sungsang (alias Panji Agung Rama Nata) pernah merantau ke Jawa [dan diduga sudah memeluk Islam] dan di pulau Jawa ia mengawini wanita setempat dan memperoleh dua putera bernama Raden Panji Dekar dan Raden Panji Sekar. Panji Sekar kemudian bergelar Sunan Serabut karena menikahi puteri Raja Giri. Sunan Serabut dari Giri inilah yang menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari/Ratu Lamak (puteri dari Raden Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih yang menggantikannya sebagai raja). Ratu Lamak kemudian digantikan adiknya Ratu Anom yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar upeti.
Menurut Hikayat Banjar versi I, ibu Raden Sekar Sungsang yaitu Putri Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (= Aria Dewangga?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean (= Raden Aria Dewangsa?) mengatakan bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera Manggalawardhani maka kemungkinan kepulangannya ke tempat asal/Majapahit untuk membantu kakaknya Samarawijaya berperang melawan pamannya Raja Majapahit?). Maharaja Carang Lalean kemudian melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku.
Pada masa Maharaja Sari Kaburungan (alias Raden Sekar Sungsang), putera dari Putri Kabu Waringin (alias Putri Kalungsu), untuk menghindari bala bencana ibukota kerajaan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) karena dianggap sudah kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir pada percabangan anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang kemudian berganti nama menjadi Negara Daha. sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun berganti menjadi sungai Negara.

Sumber: wikipedia.org


Tidak ada komentar:

Ampun Blog

Foto Saya
Lahir dan dibesarkan di Nagara jadi sebuah alasan saya harus menulis tentang tanah kelahiran, tumpah darah, dan juga warisan nenek moyang. Ada banyak hal menarik yang bisa kita "ungkai" dari banua Daha tercinta. Dari sejarahnya yang tua, budaya, tata ruang, hingga interaksi sosialnya yang khas, sangat patut untuk diabadikan melalui sebuah catatan yang bisa dibaca setiap orang kapan dan dimanapun. Untuk itulah Blog sederhana ini mencoba meraih celah melalui tulisan yang sederhana pula. Dengan segala kefakiran ilmu, penulis berusaha mengungkapkan ide dan gagasan juga pengalaman yang dimiliki.
 
 
Blogger Templates