Terus terang, penyebutan wilayah tiga kecamatan (Daha Utara, Daha Selatan, dan Daha Barat) di Kabupaten Hulu Sungai Selatan ini menjadi hal yang menarik bahkan jadi polemik. Ada dua kata yang sering menjadi perdebatan yaitu NEGARA atau NAGARA?.
Saya lebih condong menggunakan NEGARA, tapi dengan tanpa menyalahkan penyebutan NAGARA yang sudah lebih dulu bersahabat di lidah orang Daha.
Saya lebih condong menggunakan NEGARA, tapi dengan tanpa menyalahkan penyebutan NAGARA yang sudah lebih dulu bersahabat di lidah orang Daha.
Kenapa Negara?,
Saya mencoba menelusuri beberapa literatur yang berkaitan dengan sejarah Daha terutama sekali tentang Kerajaan Negara Daha yang menjadi cikal bakal wilayah bernama NEGARA (maaf sekali lagi saya gunakan kata NEGARA).
Beberapa penulis banyak menggunakan kata "Negara" dalam bukunya. Dalam Buku "Sejarah Banjar" yang disunting oleh Ideham dkk (2003) tertulis: Wilayah Kerajaan Negara Daha terbagi atas dua bagian, wilayah negara (keraton) dan wilayah taklukan. Istilah Negara sendiri menunjukkan suatu kawasan di bawah pemerintah penguasa tertinggi yang memakai gelar kehormatan Maharaja di depan namanya dengan pemerintahan yang merdeka.
Sahriadi dalam "Sinopsis Hikayat Banjar" (2009) menuturkan: ... kemudian Raden sari Kaburungan dinobatkan menjadi raja. Setahun kemudian raja memindahkan negara ke Muara Hulak. Kedudukan baru tersebut disebut Negara Daha.
Lebih lama, C.A.L.M Schwaner (1953) dalam karyanya "Borneo" halaman 42 disebutkan bahwa selama pemerintahan Kerajaan Negara Daha, penduduk yang mendiami aliran sungai Negara dan sungai Bahan telah mengalami masa kemakmuran.
Nah, yang juga menjadi keyakinan terakhir saya adalah adanya teks pada buku berbahasa Belanda "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde" oleh P. Bleeker, J. Munnich, dan E. Netscher (1857) yang mencantumkan "Negara Daha" di halaman 233.
Nah, yang juga menjadi keyakinan terakhir saya adalah adanya teks pada buku berbahasa Belanda "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde" oleh P. Bleeker, J. Munnich, dan E. Netscher (1857) yang mencantumkan "Negara Daha" di halaman 233.
Lantas salahkah penyebutan NAGARA?. Tidak juga, barangkali itu hanyalah kebiasaan orang banjar pada umumnya lebih khusus orang Daha yang terbiasa mengucapkan huruf "e" dengan "a".
Ini hanyalah persepsi saya yang awam, mungkin ada yang lebih tahu dan mengerti tentang hal tadi. Dimohon sumbangan Informasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar