Banyak masyarakat Daha (Nagara) tidak mengetahui sejarah heroik daerahnya. Terutama sekali tentang perang terbuka antara rakyat Nagara dengan Belanda. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 2 Januari 1949 yang kemudian dikenal dengan istilah Palagan Nagara.
Yang membanggakan, Muara penyerangan dan ide melakukan pertempuran. berasal dari masyarakat Hamayung (tanah kelahiran saya) yang langsung diprakarsai oleh Pambakal (Kepala Desa) Arpan.
Berikut saya posting kronologi peristiwa Pertempuran 2 Januari 1949 yang saya kutip dari buku kecil "Refleksi Palagan Nagara 2 Januari 1949" tulisan dari H. Lambran Ladjim tahun 2005 yang disampaikan pada Peringatan Hari Legiun Veteran RI dan Peringatan Palagan Nagara:
Berikut saya posting kronologi peristiwa Pertempuran 2 Januari 1949 yang saya kutip dari buku kecil "Refleksi Palagan Nagara 2 Januari 1949" tulisan dari H. Lambran Ladjim tahun 2005 yang disampaikan pada Peringatan Hari Legiun Veteran RI dan Peringatan Palagan Nagara:
Prakondisi Palagan Nagara
Pada bulan Oktober 1945 atas prakarsa Panitia Persiapan Republik Indonesia Merdeka (PPRIM) yang diketua oleh Umar Rasyid dilakukan pengibaran bendera Merah Putih dan nyanyian Indonesia Raya di halaman Kantor Kyai Wedana M.Yusran, diikuti tidak kurang dari 40 orang. Inilah tonggak pertama pengambil-alihan sementara pemerintahan di Nagara,sepeninggal Jepang dan ketika itu Belanda belum datang ke Nagara. Pada bulan Desember 1945 , datang ke Nagara ekspedisi pertama beranggotakan sembilan orang yang diutus Bung Tomo untuk membentuk pemerintahan RI dan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Mereka terdiri H.Ahmad (Ketua), H.Burhan, H.Asnawi, H.Maran, H.Muradi, Jambran, Jaderi, Atu dan Abdul Manaf, mereka semua juga adalah orang Nagara , kecuali H.Muradi berasal dari Amuntai. Mereka tergabung dalam Barisan Pemberontak Penghubung Rakyat Indonesia Kalimantan (BPPRIK), yang sebelumnya singgah Samuda, Sampit dan terus ke Nagara. Mereka itu bersama para pejuang setempat berunding dan mengupayakan perekrutan para pejuang untuk mengantisipasi datangnya pasukan Belanda. Walaupun suasana politik cukup panas, namun Nagara relatif tenang sampai 1947. Tentara yang sudah masuk ke Nagara belum menyulut konflik dengan masyarakat kecuali hanya insiden-insiden kecil.
Meskipun demikian, Belanda tetap
mewaspadai daerah Nagara sebagai daerah potensial yang berbahaya. Hal ini
karena beberapa pertimbaangan : Masyarakat Nagara terkenal agamis dan banyak
terdapat ulama, bahkan di masa lalu Nagara merupakan sentral tempat orang
belajar agama, terutama dari daerah-daerah Hulu Sungai/Banua Lima, sehingga ada
ungkapan “belum alim kalau belum mengaji ke Nagara”.
Dari pengalaman Belanda, di setiap daerah yang agamis dan banyak ulamanya, pasti gigih perlawanannya terhadap penjajah, sepeti di Aceh, Sumatra Barat, Banten, Jawa Timur, Makasar, dll.
Masyarakat Nagara saat itu relatif sejahtera kehidupan perekonomiannya karena majunya industri kecil dan rumah tangga, terutama kerajinan besi serta perdagangan. Belanda mencurigai masyarakat Nagara akan menyuplai logistik dan persenjataan ke daerah-daerah lain, terutama lewat sungai yang saat itu merupakan prasarana transportasi utama.
Untuk mengantisipasi ancaman ini maka pada akhir 1948, residen Belanda di Banjarmasin, AG Deelman mengirim seorang tokoh diplomasi Belanda bernama Vaan der Plaas ke Nagara. Ia datang menjumpai seorang ulama besar Nagara saat itu, KH Muhammad Djakfar. Permintaannya agar dengan kharismanya, KH Muhammad Djakfar dapat menjinakkan potensi rakyat Nagara dan sekitarnya. Tegasnya agar jangan sampai rakyat dan pejuang angkat senjata melawan Belanda. Sebagai imbalannya, ulama besar ini akan diberi jabatan Qadhi Besar di Kalimantan Selatan, menjadi Ketua Jamiyah Islamiyah Kalimantan Selatan bentukan Belanda, mendapat gaji besar dan mobil mewah merk Dodge yang saat itu hanya dimiliki dua orang di Kalsel, yaitu Gubernur Belanda dan H.Umar Lampihong.
Dari pengalaman Belanda, di setiap daerah yang agamis dan banyak ulamanya, pasti gigih perlawanannya terhadap penjajah, sepeti di Aceh, Sumatra Barat, Banten, Jawa Timur, Makasar, dll.
Masyarakat Nagara saat itu relatif sejahtera kehidupan perekonomiannya karena majunya industri kecil dan rumah tangga, terutama kerajinan besi serta perdagangan. Belanda mencurigai masyarakat Nagara akan menyuplai logistik dan persenjataan ke daerah-daerah lain, terutama lewat sungai yang saat itu merupakan prasarana transportasi utama.
Untuk mengantisipasi ancaman ini maka pada akhir 1948, residen Belanda di Banjarmasin, AG Deelman mengirim seorang tokoh diplomasi Belanda bernama Vaan der Plaas ke Nagara. Ia datang menjumpai seorang ulama besar Nagara saat itu, KH Muhammad Djakfar. Permintaannya agar dengan kharismanya, KH Muhammad Djakfar dapat menjinakkan potensi rakyat Nagara dan sekitarnya. Tegasnya agar jangan sampai rakyat dan pejuang angkat senjata melawan Belanda. Sebagai imbalannya, ulama besar ini akan diberi jabatan Qadhi Besar di Kalimantan Selatan, menjadi Ketua Jamiyah Islamiyah Kalimantan Selatan bentukan Belanda, mendapat gaji besar dan mobil mewah merk Dodge yang saat itu hanya dimiliki dua orang di Kalsel, yaitu Gubernur Belanda dan H.Umar Lampihong.
Dalam kesaksian saya, Van der Plaas
diperkirakan seorang Indo-Belanda, berbadan tinggi besar, hidung mancung, namun
berkulit sawo matang. Ia mendarat di kampung Pakan Dalam (Paramaian sekarang) dan speed boat yang
ditumpanginya ditambatkan di sungai depan rumah KH Muhammad Djakfar. Bersamanya
ikut empat orang pejabat Belanda, termasuk KH Abdul Ghani, Kyai Wedana Nagara.
Van der Plaas yang konon lama belajar agama islam di Mekah bercakap-cakap
dengan H Djakfar menggunakan bahasa Arab yang kami sendiri tidak paham
maksudnya, namun menurut H Djakfar intinya seperti disebutkan diatas.
H Djakfar menolak dengan halus
permintaan di atas. Alasan beliau, dirinya sudah tua, sudah dekat dengan
kematian (beliau memang wafat menjelang pengambil-alihan kedaulatan pada 27
Desember 1949), tidak berambisi lagi menduduki jabatan-jabatan prestisius atau
mengejar harta berlimpah. Soal perjuangan diserahkan kepada kemauan rakyat
saja. Padahal sebenarnya beliau anti penjajahan dan putra beliau di Hejaz Arab
Saudi, H Muhammad Sa’ya yang menjadi anggota
Komite Kemerdekaan Indonesia di Hejaz selalu mendorong agar perjuangan
terus dikobarkan. Tidak itu saja, hampir setiap hari terutama malam hari,
berdatangan para pemuda pejuang di Benua Lima minta dimandikan dengan H
Djakfar, supaya lebih memiliki kekuatan untuk berjuang melawan Belanda.
Menghadapi jawaban tersebut Van der
Plaas pulang dengan tangan hampa, dan mencoba melakukan pendekatan-pendekatan
di daerah lainnya. Konon menjelang akhir hayatnya Van der Plaas sempat masuk
Islam karena ilmu agama yang dimilikinya
dan kesadaran bahwa penjajahan yang dilakukan bangsanya tidak bisa dibenarkan
diukur dari manapun.
Meletusnya
Palagan Nagara
Sehubungan dengan gencarnya upaya
Belanda mematikan kemerdekaan, maka diseluruh wilayah Indonesia perlawanan
terus bergolak. Pasca agresi II ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk ke
Nagara, maka segenap komponen perlawanan yang sudah terbentuk sebelumnya
bangkit. Gubernur Tentara ALRI Divisi IV (Pertahanan Kalimantan yang terbentuk
tanggal 18 November 1946) dibawah pimpinan H Hasan Basry mengintruksikan
perlawanan rakyat di segenap bumi Lambung Mangkurat. Ke Nagara surat intruksi
tanggal 25 Desember 1948 tersebut dibawa oleh A Rizal dan Ishak Hasyim.
Perang terbuka dengan tentara Belanda
di Nagara pada mulanya terjadi karena salah seorang pejuang , Alidin, pada
tanggal 2 Januari 1949 dipanggiloleh Polisi Kilat untuk datang ke kantor,
katanya untuk menyerahkan senjata-senjata untuk pasukan republik. Ternyata
Belanda berkhianat, Alidin justru ditangkap karena dianggap mengorganisasi
perlawanan terhadap Belanda. Akibatnya para pemuda pejuang dan anggota
masyarakat berkumpul di Hamayung , dan dibawah komando Pembakal Arpan (orang
tua Alidin) melakukan penyerangan selepas Zohor ke markas Polisi Kilat Belanda
di Tambak Bitin.
Tidak kurang dari puluhan ribu orang
pejuang dan rakyat ambil bagian dalam pertempuran tersebut, tidak saja dari Nagara tapi juga dari
daerah-daerah sekitarnya yang ikut
bergabung. Menurut saksi hidup, Masrah dan Hamzah bahwa sebelum penyerangan
dengan berjalan kaki, berkumpul di Hamayung dan seluruh rakyat mempersiapkan
makanan dengan mengawah serta berdo’a bersama.
Dalam pertempuran ini bertindak sebagai komandan adalah Arpan Kacil, dengan wakilnya Abdul Maki, dengan formasi pasukan terdiri Utuh Nasri alias Andi Tajang, Basuni Jamhari, Abdussani, Rahimin, Ilas, Ibus, H Masrani, Atoeti, Haris, Kaderi, Ahmad Sanusi, dll. Perlawanan ini melibatkan delapan kampung, dan penulis (Lambran Ladjim) sebagai pelatih kemiliteran dan penghubung markas ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan, memimpin pasukan dari Pakan Dalam. Rakyat dan pejuang saat itu hanya bermodalkan semangat jihad berjuang lillahi ta’ala dengan bersenjata sederhana, yakni pedang, keris, tombak, mandau, sedikit senjata api hanya 3 buah Lee and Field masing-masing pelurunya satu onderbak dan beberapa senjata api rakitan sendiri. Pertempuran berkobar sejak waktu Ashar sampai Subuh.
Dalam pertempuran terbuka tersebut diketahui gugur delapan pejuang, yakni H Hasyim, H Djakfar (bukan H Muhammad Djakfar diatas), Saaluddin, Kamberan, Muit, Aseri, Rahimin dan seorang perempuan Fatimah. Kalau dihitung dengan akal, mestinya korban sangat besar, sebab rakyat yang menyerbu sangat banyak dan dihadapi pasukan Belanda dengan senjata-senjata modern dan otomatis.Serangan tambahan juga dilakukan tengah malam, namun tetap gagal menguasai tangsi Belanda Yang hampir saja dikuasai kalau tidak datangnya bala bantuan baru. Pejuang yang ditugasi memutus telpon tidak berhasil, sehingga pasukan Belanda masih bisa berkomunikasi minta bantuan daerah lain. Para pejuang akhirnya mundur untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak, sebab ketika itu berdatangan bala bantuan tentara Belanda beberapa kompi, baik dari Kandangan, Amuntai dan juga dari Banjarmasin dengan kapal perang 4 buah. Mereka menghindar ke belakang rumah (berendam di air) guna mengorganisasi kekuatan baru guna melakukan serangan geriliya di lain waktu.
Tidak diketahu berapa jumlah tentara Belanda yang tewas dan luka-luka diperkirakan cukup banyak, sebab terjadi pula kesalahan sandi antara tentara Belanda yang datang dari Kandangan dan Amuntai saling baku tembak yang dikiranya musuh (pejuang). Tentara Belanda yang terdiri dari KL dan KNIL kelihatannya sangat takut, karena apabila ada gerakan terlihat pada tumbuhan belukar langsung diberondong dengan senjata otomatis, padahal ternyata hanya ayam atau anjing saja.
Dalam pertempuran ini bertindak sebagai komandan adalah Arpan Kacil, dengan wakilnya Abdul Maki, dengan formasi pasukan terdiri Utuh Nasri alias Andi Tajang, Basuni Jamhari, Abdussani, Rahimin, Ilas, Ibus, H Masrani, Atoeti, Haris, Kaderi, Ahmad Sanusi, dll. Perlawanan ini melibatkan delapan kampung, dan penulis (Lambran Ladjim) sebagai pelatih kemiliteran dan penghubung markas ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan, memimpin pasukan dari Pakan Dalam. Rakyat dan pejuang saat itu hanya bermodalkan semangat jihad berjuang lillahi ta’ala dengan bersenjata sederhana, yakni pedang, keris, tombak, mandau, sedikit senjata api hanya 3 buah Lee and Field masing-masing pelurunya satu onderbak dan beberapa senjata api rakitan sendiri. Pertempuran berkobar sejak waktu Ashar sampai Subuh.
Dalam pertempuran terbuka tersebut diketahui gugur delapan pejuang, yakni H Hasyim, H Djakfar (bukan H Muhammad Djakfar diatas), Saaluddin, Kamberan, Muit, Aseri, Rahimin dan seorang perempuan Fatimah. Kalau dihitung dengan akal, mestinya korban sangat besar, sebab rakyat yang menyerbu sangat banyak dan dihadapi pasukan Belanda dengan senjata-senjata modern dan otomatis.Serangan tambahan juga dilakukan tengah malam, namun tetap gagal menguasai tangsi Belanda Yang hampir saja dikuasai kalau tidak datangnya bala bantuan baru. Pejuang yang ditugasi memutus telpon tidak berhasil, sehingga pasukan Belanda masih bisa berkomunikasi minta bantuan daerah lain. Para pejuang akhirnya mundur untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak, sebab ketika itu berdatangan bala bantuan tentara Belanda beberapa kompi, baik dari Kandangan, Amuntai dan juga dari Banjarmasin dengan kapal perang 4 buah. Mereka menghindar ke belakang rumah (berendam di air) guna mengorganisasi kekuatan baru guna melakukan serangan geriliya di lain waktu.
Tidak diketahu berapa jumlah tentara Belanda yang tewas dan luka-luka diperkirakan cukup banyak, sebab terjadi pula kesalahan sandi antara tentara Belanda yang datang dari Kandangan dan Amuntai saling baku tembak yang dikiranya musuh (pejuang). Tentara Belanda yang terdiri dari KL dan KNIL kelihatannya sangat takut, karena apabila ada gerakan terlihat pada tumbuhan belukar langsung diberondong dengan senjata otomatis, padahal ternyata hanya ayam atau anjing saja.
Dampak Heroik Palagan Nagara
Meskipun pertempuran (Palagan) Nagara
2 Januari gagal memperoleh kemenangan yang tuntas, namun dampaknya sangat
signifikan terhadap perjuangan.
Dampak Internal
Setelah pertempuran 2 Januari,pasukan
Belanda yang bertambah banyak mengamuk, menangkapi sejumlah orang yang dianggap
berbahaya dan setiap gerakan selalu mereka tumpas, sampai-sampai membuka
jendela rumah saja mereka tembak. Pasukan melakukan penyisiran di seluruh
kampung, kecuali kampung Pakan Dalam tidak mereka obrak-abrik (konon sudah
dihalat oleh KH Muhammad Djakfar). Usaha-usaha masyarakat dirampas seperti
wantilan pembakal Arpan yang berjumlah 30 buah, sebab dicurigai hasilnya hanya
untuk membiayai perlawanan. Dan kenyataannya memang demikian, sebab para
pedagang, pengusaha dan rakyat bahu membahu mengumpulkan uang dan logistik
untuk melakukan perlawanan, yang sesudah pertempuran terbuka 2 Januari 1949
tersebut, perlawanan dilakukan secara gerilya sebagaimana daerah-daerah lain. Mereka
rela hidup menderita dan berkorban apa saja,asal api perlawanan tetap menyala
dan Belanda cepat angkat kaki dari bumi pertiwi. Sebagai akibatnya juga orang
Nagara (asal dari Nagara) diseluruh Hulu Sungai (Banua Lima) ditangkapi.
Sebagai balasannya, rakyat umum juga
melakukan blokade ekonomi terhadap pasukan Belanda. Rakyat tidak mau melakukan
jual beli dengan Belanda, terutama bahan makanan, sehingga terpaksa logistik
pasukan mereka datangkan dari Banjarmasin.
Dampak Eksternal
Pertempuran 2 januari semakin
membangkitkan semangat perjuangan di seluruh Kalsel yang mengambil pelajaran
bahwa Nagara yang hanya kota/daerah kecamatan mampu melakukan perang terbuka
terhadap Belanda, sebab pertempuran itu dilakukan di siang hari sampai
malam/subuh. Hal ini berakibat api perlawanan semakin dahsyat. Setiap hari
selalu saja ada mayat-mayat yang hanyut di sungai Nagara, baik mayat tentara
Belanda, mayat pejuang maupun mata-mata (spionase) Belanda yang oleh rakyat
disebut “sapi”, sehingga selama berbulan-bulan orang enggan minum air sungai
dan memakan ikan di sungai
tersebut. Di seluruh Hulu Sungai ikan dari Nagara tidak laku dijual.
Perlawanan yang semakin gigih ini mengakibatkan Belanda kewalahan dan terpaksa menarik pasukannya ke ibukota-ibukota Kabupaten, sebab perdesaan dan kecamatan sudah dikuasai pejuang dan kondisinya sangat rawan dan berbahaya bagi pasukan Belanda. Namun untuk Nagara, pasukan Belanda tetap dipertahankan, karena Belanda beranggapan Nagara merupakan biang keroknya perjuangan melawan merreka. Seiring dengan memanasnya perlawanan perjuangan di Kalsel ini, penguasa Belanda sempat pula berkeinginan mendatangkan Kapten Raymon Westerling guna meredam perjuangan di banua Banjar. Westerling memang pernah “sukses” membantai puluhan ribu rakyat di Makassar, Sulawesi Selatan, sehingga untuk memperingatinya, di salah satu sudut kota Makassar (Ujungpandang) terdapat Jalan Empat Puluh Ribu. Sebelum niat ini terlaksana, pemerintah Belanda keburu memutuskan untuk melakukan genjatan senjata (Cease Fire), yang untuk daerah Kalimantan Selatan ditandatangani tanggal2 September 1949. Hal ini dilakukan berkaitan dengan kesepakatan Pengambil alihan Kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia.
Perlawanan yang semakin gigih ini mengakibatkan Belanda kewalahan dan terpaksa menarik pasukannya ke ibukota-ibukota Kabupaten, sebab perdesaan dan kecamatan sudah dikuasai pejuang dan kondisinya sangat rawan dan berbahaya bagi pasukan Belanda. Namun untuk Nagara, pasukan Belanda tetap dipertahankan, karena Belanda beranggapan Nagara merupakan biang keroknya perjuangan melawan merreka. Seiring dengan memanasnya perlawanan perjuangan di Kalsel ini, penguasa Belanda sempat pula berkeinginan mendatangkan Kapten Raymon Westerling guna meredam perjuangan di banua Banjar. Westerling memang pernah “sukses” membantai puluhan ribu rakyat di Makassar, Sulawesi Selatan, sehingga untuk memperingatinya, di salah satu sudut kota Makassar (Ujungpandang) terdapat Jalan Empat Puluh Ribu. Sebelum niat ini terlaksana, pemerintah Belanda keburu memutuskan untuk melakukan genjatan senjata (Cease Fire), yang untuk daerah Kalimantan Selatan ditandatangani tanggal2 September 1949. Hal ini dilakukan berkaitan dengan kesepakatan Pengambil alihan Kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia.
8 komentar:
Maaf pak sebelumnya ..boleh minta sumbernya pak
Di awal tulisan sudah disebutkan, postingan ini mengutip tulisan dari Lambran Ladjim. Makasih sdh berkunjung.
alamat lengkap lokasi tugunya didekat mana ?
Maaf apa anda tau ahli waris andi tajang..?
Apa andi tajang putra daerah nagara,atau org sulawesi seperti nm nya andi.
Terimakasih
aldrin rachman pradana_Tugunya berada di desa Hamayung RT.01 Kec. Daha Utara Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Berdampingan dengan Pasar Hamayung.
Fitriyadi Ramadhan_Ma'af, kita belum ada menelusuri ahli warisnya. Sebetulnya nama Andi Tajang hanyalah samaran untuk mengelabui Belanda. Nama beliau Utuh Nasri (kemungkinan Nasri saja, karena Utuh biasanya digunakan sebagai panggilan untuk anak lelaki dalam bahasa Banjar)
minta iji share mang��?slajuran klow ada data lengkap para pejuang skaligus jejak warisnya.terima kasih post nya
Kebetulan Andi tajang merupakan kakak dari kakek saya, menurut informasi dari keluarga, asli nya memang mempunyai gelar andi
Posting Komentar