Social Icons

Pages

Rabu, 15 Juli 2015

Hikayat Tentang Kerajaan Negara DIPA

Dari hasil jelajah di dunia maya, saya sangat tertarik sekali dengan rangkaian cerita yang tersusun secara kronologis dan bertutur tentang kerajaan Negara Dipa. Cerita ini saya dapat dari blog sebelah: banuahujungtanah.wordpress.com. Lumayan panjang, jadi kalau malas menghabiskannya langsung, dicicil juga 'gak papa, he. Berikut ceritanya:



Cerita ini berasal dari negeri Keling. Di sana hidup seorang pedagang yang kaya raya bernama saudagar Mangkubumi. Istrinya bernama Siti Rara. Anaknya bernama Empu Jatmika. Setelah Empu Jatmika besar kemudian dia kawin dengan Sari Manguntur. Dari perkawinannya ini Empu Jatmika mendapat dua orang putra, bernama Empu Mandastana dan Lembu Mangkurat.


Saudagar Mangkubumi jatuh sakit ketika kedua cucunya masih remaja. Semua anggota keluarga dititahkan untuk berjaga selama 40 hari, siang dan malam. Saudagar Mangkubumi meminta supaya anak dan cucunya datang menghadap ketika beliau hampir meninggal dunia. Kemudian dia berpesan kepada anaknya Empu Jatmika supaya menjaga seluruh keluarga dengan sebaik-baiknya. Selain itu beliau berpesan agar jangan kikir dan bersikap adil terhadap setiap orang. Hendaklah anaknya menerima dan mendengar setiap permohonan orang yang datang menghadap dengan segera. Itulah kata-kata terakhir dari saudagar Mangkubumi.

Sebelumnya juga beliau berpesan supaya anaknya pergi merantau ke luar negeri Keling karena di negeri Keling ini terdapat banyak orang yang suka iri hati dan dengki. Anaknya Empu Jatmika harus mencari negeri yang bertanah panas dan berbau harum. Untuk mengetahui hal itu hendaklah dia menggali tanah yang didatanginya, kira-kira pada tengah malam dan mengambilnya sekepal. Jika telah berhasil menjumpai daerah yang tanahnya memenuhi syarat-syarat itu, hendaklah dia menetap di sana. Karena di tempat itulah dia mendapat rahmat dan kebahagiaan. Tanaman-tanaman akan tumbuh subur. Saudagar-saudagar akan berdagang, dan negara akan terhindar dari gangguan musuh. Jika tanah itu harum tetapi dingin, maka kebahagiaan dan kemakmuran hanyalah sekadar saja. Baik dan buruk ada di dalam keadaan seimbang. Jika tanah itu berbau busuk dan lagi dingin, maka niscaya negara itu senantiasa ditimpa bahaya. Menderita kesukaran yang tidak putus-putusnya.

Setelah berpesan demikian, saudagar Mangkubumi menutup mata untuk selama-lamanya. Semua keluarga berduka cita, dan meratapi dengan tangis kesedihan. Untuk mengikuti kebiasaan pada zaman dahulu kala, upacara pemakaman berlangsung dengan disertai pembagian beribu-ribu lembar kain dan berpuluh-puluh ribu uang yang ditaburkan.
Mengingat akan pesan ayahnya, Empu Jatmika setuju sekali untuk meninggalkan negerinya. Dia memerintahkan hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa untuk datang menghadap. Juga Wiramartas yang merupakan seorang ahli bahasa. Wiramartas fasih dalam berbahasa Arab, Persi, Melayu, Tionghoa, dan lain-lain. Kemudian Wiramartas ditunjuk sebagai kepala dari rencana perjalanan ini.

Tidak lama kemudian, bertolaklah dari negeri Keling, armada yang berlayar dengan dipelopori oleh kapal Si Prabayaksa. Empu Jatmika terdapat dalam kapal pelopor ini. Tidak lama kemudian, armada berlabuh di sebuah pulau. Tetapi ternyata pulau itu tidaklah bertanah panas dan harum. Dengan sedikit kecewa pelayaran diteruskan. Armada kemudian berlabuh di pulau Hujung Tanah. Sementara berlabuh Empu Jatmika tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya itu dia serasa berjumpa dengan almarhum ayahanda, yang berpesan supaya mendarat di pulau Hujung Tanah. Di situlah dia akan menjumpai apa yang dicari.

Pagi-pagi benar pergilah Empu Jatmika dengan empat orang pengiringnya menuju pulau Hujung Tanah. Dia mengambil tanah di sana, dan benarlah di sini hawanya panas laksana api, harum bagai daun pudak. Dengan batu-batu yang dibawa dari negeri Keling, dimulailah membangun sebuah candi. Kemudian didirikan pula sebuah istana lengkap dengan balairung, pendopo dan perbendaharaan. Dengan suatu upacara di dalam balairung, Empu Jatmika memberikan nama kepada negara baru itu Nagara Dipa. Dia sendiri menjadi raja di negara ini dengan gelar Maharaja di Candi.

Pada waktu itu terdapat kepercayaan kepada peribahasa: “Siapa yang tidak berdarah bangsawan, tetapi oleh karena kekayaan dapat menjadi raja, dia akan ditimpa oleh bencana. Demikian pula bencana itu akan menimpa mereka yang mengakui orang itu sebagai raja”! Oleh karena itu, Empu Jatmika membuat patung dari kayu cendana. Patung inilah yang seolah-olah dijadikan raja dan kepadanya seolah-olah diletakkan kekuasaan yang tertinggi. Ahli-ahli tatah ukir membuat dua buah patung, yang berwujud seorang laki-laki dan seorang perempuan. Patung-patung itu dihiasi dengan seindah-indahnya dan diukup dengan dupa serta wangi-wangian kemudian diletakkan dalam candi. Setiap hari Jumat datanglah raja mengunjungi patung-patung itu.

Pada suatu ketika raja menitahkan supaya Hulubalang Arya Megatsari membawa tentara 1000 orang untuk menaklukkan daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, dan Batang Pitap. Dengan kekuasaan tentara yang sama pula, berangkatlah Tumenggung Tatah Jiwa ke daerah Batang Alai, Batang Hamandit, dan Labuan Emas. Kedua ekspedisi ini berhasil. Semua pemimpin-pemimpin rakyat di daerah yang ditaklukkan itu dibawa menghadap raja. Mereka semua diwajibkan untuk tunduk kepada perintah kedua hulubalang. Setiap musim panen mereka haruslah menyerahkan upeti yang jumlahnya telah ditetapkan. Setelah dijamu secara mewah, semua pemimpin itu diperkenankan kembali ke daerah masing-masing, dengan perjanjian tidak akan lagi bermusuhan antarsesama mereka.

Sesudah pemimpin-pemimpin itu kembali ke daerah masing-masing, raja mencurahkan perhatiannya kepada keadaan istana. Segala peraturan, susunan pegawai, upacara istana disesuaikan dengan tatakrama Majapahit. Ketika semua peraturan telah tersusun dengan baik, Empu Jatmika mengirimkan armada ke negeri Keling. Di bawah pimpinan nakhoda Lampung, mereka menjemput keluarga dan harta benda yang berharga yang masih ketinggalan.

Di dalam perjalanan pulang armada ini dilanda angin taufan. Kapal-kapal terserak ke sana ke mari, sebagian hanyut ke Laut Kidul. Akibatnya banyak anak buah kapal yang tewas. Sisa dari armada itu tiba kembali ke Nagaradipa dengan selamat. Para nakhoda mendapat hadiah. Di antaranya sebuah pedang yang indah permai.

Pada suatu upacara yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu, raja memberitahukan kepada Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa, keinginannya untuk mengganti patung-patung kayu yang lambat-laun telah menjadi lapuk dengan patung dari gangsa. Ketika itu raja mengetahui bahwa bangsa Tiongkok adalah bangsa yang pandai dan ahli dalam pembuatan patung gangsa. Maka beliau memutuskan untuk mengutus Wiramartas menghadap Raja Tiongkok dengan membawa bingkisan yang berharga, diantaranya terdapat 10 ekor kera jenis orang hutan.

Dengan tidak banyak mendapat kesukaran, utusan di bawah pimpinan Wiramartas itu tiba di Tiongkok. Di dalam suatu sidang resmi, Wiramartas mempersembahkan surat dari raja Negara Dipa. Seorang pandita Raja Tiongkok membacakan surat tersebut. Kemudian Raja Tiongkok menitahkan supaya memenuhi permintaan Raja Negaradipa. Kemudian Raja Tiongkok masuk ke dalam istana. Setelah musim baik tiba, berlayar pulanglah Wiramartas. Empat puluh orang ahli patung milik Raja Tiongkok ikut serta. Selain itu, dikirim pula berbagai aneka macam hadiah, seperti tikar permadani, kain sutera dan barang-barang porselen. Wiramartas sendiri mendapat hadiah pakaian yang indah dan sebilah pedang Jepang.

Setelah Wiramartas sampai di pelabuhan Negara Dipa, utusan ini disambut secara meriah. Dalam sidang, Wiramartas menyampaikan laporan dari perjalanan dan membacakan surat dari Raja Tiongkok. Wiramartas dengan pengiring-pengiringnya diberi hadiah, yakni sebagai balas jasa atas menjalankan kewajibannya dengan sangat baik. Kepada Wargasari, bendahara raja, diserahkan bingkisan Raja Tiongkok. Sedangkan Arya Megatsari diperintahkan untuk menjaga ahli-ahli seni rupa bangsa Tionghoa itu.

Dalam waktu yang singkat, ahli-ahli bangsa Tiongkok itu selesai dengan tugas mereka. Dua patung gangsa yang berbentuk seorang laki-laki dan seorang perempuan yang ukurannya sebesar anak kecil, diserahkan kepada raja. Raja sangat mengagumi pekerjaan para ahli itu. Kemudian raja menitahkan untuk melemparkan patung-patung dari kayu cendana ke dalam laut, dan menempatkan patung gangsa sebagai gantinya di dalam candi. Empat puluh pandita dititahkan untuk menjaga patung-patung itu. Di dalam waktu tertentu, mereka harus membersihkan dan menggosoknya dengan pasir halus, agar patung itu tidak berkarat. Kemudian diusap dengan narawastu dan diasapi dengan kemenyan. Setiap malam Sabtu, haruslah pandita-pandita itu menaburi patung-patung itu dengan bunga melati, cempaka, dan bunga pudak.

Di zaman itu, Negara Dipa termasyhur ke mana-mana. Pembentukan negara dan cara pemerintahan mengikuti adat dari kerajaan Majapahit. Pakaian dan kebiasaan harus meniru pula pakaian adat dan kebiasaan Jawa. Malah raja tidak lagi menghendaki rakyatnya berpakaian secara Keling atau Melayu. Karena Negara Dipa adalah negara yang berdiri sendiri dan haruslah mengambil bentuk yang selaras dan pantas. Selanjutnya raja memperingatkan rakyatnya, jangan menanam lada untuk perdagangan seperti di Sriwijaya. Sebab di tempat tumbuhnya lada, akan terdapat kekurangan bahan makanan. Tumbuh-tumbuhan tidak akan tumbuh subur oleh hawa panas lada. Negara akan menerima kesukaran dan pemerintahan akan runtuh. Jika orang ingin menanam juga lada, hendaknya jangan lebih dari empat sampai lima rumpun, yakni sekadar cukup untuk keperluan sendiri.

Beberapa lama kemudian Empu Jatmika jatuh sakit. Banyak tabib yang didatangkan, tapi tidak berhasil. Siang dan malam banyak rakyat yang berjaga-jaga di sekitar istana. Akhirnya raja menitahkan agar kedua putranya menghadap. Juga kedua hulubalang, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa. Dengan tegas raja memperingatkan agar kedua putranya jangan menerima kehormatan untuk menjadi raja. Sebab bencana dan malapetaka akan selalu menimpa setiap orang yang menjadi raja, jika dia bukan berasal dari kaum bangsawan. Beliau sendiri meletakkan kekuasaan pada patung-patung karena khawatir di timpa bencana. Jika beliau mangkat haruslah patung-patung itu dilemparkan ke laut. Sedangkan putra-putranya dititahkan mencari raja manusia dengan jalan Empu Mandastana haruslah bertapa di gunung, di dalam gua atau di pohon-pohon besar. Sedangkan Lembu Mangkurat haruslah bertapa di pusaran air yang dalam. Sesudah memberikan peringatan ini, rajapun mangkat.

Pemakaman jenazah baginda dilakukan dengan upacara kebesaran. Kemudian oleh pandita-pandita dilakukan upacara membuang patung-patung ke dalam laut. Kemudian Empu Mandastana dan Lembu Mangkurat pergi bertapa memenuhi anjuran ayahanda mereka, Empu Jatmika. Dua tahun lamanya mereka hidup mengasingkan diri, dengan mengurangi makan, minum, dan tidur. Akan tetapi, yang diharap-harap belum juga tiba, sehingga mereka telah berniat untuk pulang kembali.

Pada suatu malam Lembu Mangkurat bermimpi. Dalam mimpinya seolah mendengar suara almarhum ayahandanya. Beliau menganjurkan supaya Lambu Mangkurat membuat rakit-rakit dari 14 batang pohon pisang saba dengan berlangit-langit kain putih. Di empat sudut digantungkan mayang mengurai. Lambu Mangkurat harus pula membakar dupa, dan berhanyut ke hilir sungai dengan tidak merasa gentar, bila seandainya bertemu buaya, ikan, dan ular besar. Jika dia dan rakitnya sampai di Lubuk Bargaja, maka rakit itu akan berputar di pusaran air. Kalau pusaran air ini tenang kembali, dia akan melihat sebuah buih raksasa. Dari dalam buih ini akan terdengar suara perempuan yang berbicara kepadanya. Perempuan inilah yang akan menjadi raja putri Negara Dipa.

Besok harinya Lembu Mangkurat melaksanakan petunjuk yang terdapat dalam mimpinya. Dengan rakit yang memenuhi syarat seperti yang dikehendaki, diapun berhanyut ke hilir. Dengan tidak merasa takut, walaupun sepanjang jalan bertemu dengan buaya, ikan, dan ular-ular besar.

Akhirnya dia melihat buih yang bercahaya-cahaya timbul ke permukaan air. Suatu suara yang lemah lembut dan merdu bertanya: “Lembu Mangkurat, apakah yang engkau perbuat di sini?” Lembu Mangkuratpun menjawab: “Hamba mencari seorang raja untuk memerintah di Negara Dipa!” Suara itu kedengaran lagi. “Lembu Mangkurat, aku adalah raja putri, Putri Tunjung Buih yang engkau cari!”. Lembu Mangkurat terus berjanji mempersembahkan candi sebagai istana. Tetapi Putri Tunjung Buih menolak tinggal di sana. Karena di situ pernah di letakkan patung-patung yang dijadikan berhala. Dia meminta supaya membangun sebuah mahligai. Sebagai tiangnya haruslah diambil 4 pohon batung batulis dari gunung Batu Piring. Mahligai itu haruslah selesai dikerjakan di dalam satu hari. Selanjutnya empat puluh orang gadis harus menyelesaikan selembar kain kuning yang panjangnya 7 meter dan lebarnya 2 meter. Kain itu akan digunakan oleh putri sebagai selendang jika dia bepergian.

Setelah mengetahui hal ini semua, Lembu Mangkurat pun segera memberitahukan peristiwa ini kepada Empu Mandastana. Rakyat dilarang melayari sungai tersebut sebelum putri naik ke mahligai. Empat orang patih mendapat perintah untuk mengambil 4 pohon batung batulis. Benarlah, pada hari itu permintaan Putri Tunjung Buih selesai, seperti mahligai. Sedangkan keempat puluh orang gadis dapat pula memenuhi kewajiban yang dipikulkan kepada mereka untuk membuat selembar kain langgundi.

Dengan suatu upacara kebesaran, berangkatlah Lembu Mangkurat menjemput sang Putri Tunjung Buih dengan diiringi oleh 40 orang gadis yang berpakaian kuning. Dengan khidmat kain kuningpun dipersembahkan kepada Putri Tunjung Buih. Bercahaya-cahaya, gilang-gemilang keluarlah putri dari dalam buih, berpakaian rapi dan berselendang kain kuning yang dibuat oleh para gadis. Dengan diiringi oleh rakyat, berangkatlah Putri Junjung Buih menuju mahligainya. Hanya 40 orang gadis pengiring yang diperkenankan tinggal bersama Putri.

Kini Putri Junjung Buih pun menjadi raja di Negara Dipa. Di dalam wujudnya, pemerintahan diserahkan kepada kebijaksanaan Lembu Mangkurat, walaupun dia adalah adik dari Empu Mandastana. Dan ia pulalah yang memberikan keputusan-keputusan yang penting di dalam soal yang bertalian dengan urusan negara.

Pada suatu hari Lembu Mangkurat menghadap Putri Junjung Buih, dengan maksud menanyakan apakah dia tidak akan memilih suami. Dengan tegas Putri Junjung Buih itu menjawab: “bahwa dia hanya akan kawin dengan seorang laki-laki yang diperoleh dengan bertapa”. Jawaban ini menimbulkan kesukaran yang tidak mudah dipecahkan. Dengan agak malu Lembu Mangkurat memohon diri pulang.

Adapun Empu Mandastana berputra dua orang, yaitu Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga. Setiap hari, kedua anak muda itu bermain di sekitar mahligai Putri Junjung Buih. Banyak anak gadis yang jatuh cinta kepada kedua anak muda ini. Mereka menjalin pantun dan menggubah seloka untuk menyatakan kerinduan mereka.

Pada suatu hari Putri Junjung Buih melihat kedua anak muda itu, hingga diketahuinya kedua anak itu adalah putra-putra dari Empu Mandastana. Sekadar untuk memberi hadiah sebagai tanda kebahagiaan hatinya, Putri Junjung Buih memberi sekuntum bunga nagasari kepada mereka. Bunga nagasari pada waktu itu belum tumbuh di Negara Dipa. Tetapi malang, tepat pada saat itu paman mereka, Lembu Mangkurat lewat di sana.

Dengan gusar dan cemburu Lembu Mangkurat menanyakan apa yang mereka perbuat di sekitar istana itu. Kemudian ia melarang kedua putra kakaknya itu untuk datang bermain-main di dekat kediaman raja. Hal itu karena Lembu Mangkurat berpendapat, kalau nanti sampai Putri Junjung Buih ingin bersuamikan salah seorang dari kemenakannya, maka dia kelak sebagai paman akan menyembah anak kakaknya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menyingkirkan kedua anak muda itu.

Pada suatu hari dengan alasan bersama-sama akan pergi mencari ikan, ia mengajak kedua kemenakannya, yaitu Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga ke hulu sungai. Kedua anak itu menurut saja ajakan pamannya itu. Namun sebelum berangkat, mereka telah bermohon dan menyatakan selamat berpisah kepada ayah dan bunda mereka. Hal inilah yang kemudian menjadi pangkal kecurigaan.

Menjelang keberangkatan, Bangbang Sukmaraga menanam sebatang pohon kembang melati di sebelah kanan dari pintu rumah, sedangkan adiknya Bangbang Patmaraga menanam sebatang kembang merah di sebelah kiri, seraya berkata: “Jika daun-daun ini rontok berguguran, maka itulah tandanya kami berdua kakak beradik mati dibunuh oleh paman Lembu Mangkurat”!

Dengan berbaju putih, mereka pergi ke perahu, sedangkan Lembu Mangkurat telah datang terlebih dahulu menunggu mereka. Mereka bersama-sama berangkat dengan perahu ke hulu sungai hingga sampai di Batang Tabalong. Di sinilah kedua anak kakaknya tersebut dibunuh. Lembu Mangkurat menjadi keheran-heranan setelah mengetahui bahwa mayat Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga hilang lenyap seketika itu juga. Sampai sekarang tempat pembunuhan ini masih dikenal dengan nama Lubuk Badangsanak.

Empu Mandastana dan istrinya yang sedang dalam keadaan cemas dan khawatir menunggu kabar anaknya, tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya sejoli burung merak. Yang jantan hinggap di pangkuan Empu Mandastana dan yang betina di pangkuan istrinya. Maklum akan tanda-tanda ini, berdebar-debarlah hati Empu Mandastana dan istrinya. Seolah-olah mereka tahu bahwa kedua putra mereka telah mati dibunuh. Dengan serempak mereka menengok pohon-pohon yang ditanam oleh putra-putranya. Ketika melihat pohon-pohon itu, berlinanganlah air mata mereka karena daun-daun pohon itu satu demi satu berguguran. Segera mereka mengambil keputusan untuk mengikuti nasib kedua putranya, yaitu Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga. Setibanya mereka kembali ke candi, Empu Mandastana menikam dirinya dengan sebuah keris Keling yang bernama Parung Sari dan istrinya dengan Lading Malela.

Beberapa hari kemudian barulah Lembu Mangkurat mengetahui kematian kakaknya. Ia menanyakan kepada semua pengiring di manakah mereka paling akhir melihatnya. Tetapi walaupun sudah diselidiki dengan saksama, orang-orang tidak juga menjumpai Empu Mandastana dan istrinya. Sambil menduga apa yang mungkin terjadi, Lembu Mangkurat pergi menuju Candi. Di sana dia menjumpai kedua sosok tubuh yang telah menjadi mayat, terbaring tenang laksana tidur, sedangkan keris dan lading untuk bunuh diri tergeletak di samping mereka masing-masing. Di sekelilingnya tampak banyak burung yang mati bergelimpangan karena terbang melangkahi kedua mayat keramat itu.

Lembu Mangkurat memerintahkan pengiring-pengiringnya untuk membuang kedua mayat itu serta tanah-tanah tempat mayat itu terbaring ke laut. Di tempat itu kemudian menjadi sebuah telaga yang sampai sekarang dinamakan Telaga Raha. Konon jika ada seorang yang dianggap bersalah dan dibunuh, maka kelihatan air Telaga Raha itu akan berwarna kemerah-merahan selama dua puluh empat jam. Demikian pula halnya dengan sungai yang berhulu dari gunung Batu Piring, yaitu gunung tempat mengambil batung batulis untuk membuat tiang mahligai Putri Junjung Buih. Sampai sekarang sungai ini masih terkenal dengan nama Sungai Darah.

Pada suatu malam Lembu Mangkurat bermimpi bahwa almarhum ayahandanya menceritakan bahwa Raja Majapahit ketika bertapa mendapat seorang putera yang layak untuk menjadi suami Putri Junjung Buih. Di dalam mimpinya diceritakan bahwa semula Raja Majapahit mendapat nasihat dari seorang tua supaya bertapa di gunung Majapahit dan kelak malaikat dari kayangan akan memberikan baginda seorang putera. Jika baginda menjaga anak ini baik-baik, kekuasaan dan kemasyhurannya akan bertambah luas. Selain itu sebagai tanda rahmat kebahagiaan, akan lahir lagi enam orang anak. Pada keesokan harinya, Raja Majapahit berangkat bertapa ke gunung tersebut. Sesudah empat puluh hari lamanya beliau bertapa, baginda benar-benar mendapat karunia seorang putra yang diberi nama Raden Putra. Kemudian baginda kembali ke istana. Sesudah beberapa lama akhirnya lahir enam orang anak, tiga orang putra dan tiga orang putri. Kekuasaan Majapahit kian hari kian bertambah besar. Demikianlah cerita yang disampaikan oleh almarhum ayahandanya di dalam mimpi.

Berdasarkan mimpinya itu, Lembu Mangkuratpun memerintahkan dengan segera untuk menyiapkan kapal Si Prabayaksa dan kapal-kapal lainnya. Selain Wiramartas, ikut pula empat orang patih serta sepuluh orang nakhoda, Puspawana, Wangsanala, dan Sarageni. Rombongan ini berangkat dari Negaradipa dan langsung dipimpin oleh Lembu Mangkurat. Tidak lama kemudian sampailah mereka di pelabuhan Majapahit.

Ketika Syahbandar Pelabuhan Majapahit menerima kabar tersebut, maka iapun pergi ke pangkalan untuk menyaksikan sendiri orang asing yang datang itu. Betapa terkejut hatinya ketika melihat begitu banyak kapal yang berlabuh, sehingga keluar dari mulutnya: “selama orang-orang asing datang ke sini, belum pernah seperti ini”! Syahbandar Pelabuhan Majapahit segera kembali dengan membawa kabar, bahwa orang-orang asing itu berasal dari Negara Dipa di bawah pimpinan Lembu Mangkurat. Mereka datang dengan maksud mengunjungi Raja Majapahit. Dengan segera Syahbandar pelabuhan pergi ke istana kerajaan Majapahit dan menyampaikan laporan kepada Patih Gajah Mada. Kemudian Patih Gajah Mada menyampaikan berita ini kepada Raja Majapahit.

Berita kedatangan Lembu Mangkurat ini menimbulkan kekhawatiran Raja Majapahit, yang selama ini tidak pernah merasa gentar kepada raja asing mana pun. Meskipun demikian, beliau tetap mempersilakan Lembu Mangkurat untuk menghadap. Dengan berpakaian kebesaran yang gemerlapan, berangkatlah Lembu Mangkurat menunggang kuda putih didampingi oleh para pengawal yang bersenjata pedang. Para patih, hulubalang dan nakhoda-nakhoda berbaris pula mengikuti mereka dengan pakaian kebesaran yang indah. Paling belakang terdapat barisan dari lima ratus tentara yang berjalan kaki dan lima ratus orang yang menunggang kuda. Arak-arakan seindah itu belum pernah terlihat di Majapahit.
Sesudah tiga hari, barisanpun sampai di dalam kota. Di Sitiluhur telah menunggu Patih Gajah Mada, Arya Dilah, Arya Jamba, Rangga Lawe, Arya Sinom, Kuda Pikatan, Hajaran Panulih, dan Dipati Lampur. Sejurus kemudian terdengarlah dentuman senapan yang memberikan tanda bahwa raja akan keluar dari istana. Dengan diiringi bunyi gamelan, raja berjalan keluar. Di atas panggung terdengar gamelan membunyikan lagu lokananta, sedang di Paseban dibunyikan galaganjur. Tombak upacara, bendera, dan panji-panji dibawa ke hadapan raja. Beberapa rombongan masing-masing terdiri atas empat puluh orang, datang berbaris dengan memakai pakaian seragam yang indah. Kemudian raja duduk di Sitiluhur, sedangkan untuk pengawalan ditempatkan Singanegara (polisi) sebanyak empat ratus orang di sekeliling istana. Di hadapan raja duduk pula dua ratus orang wanita dengan memakai sarung yang keemas-emasan. Mereka adalah para pengiring yang diwajibkan untuk membawa keperluan-keperluan raja, seperti tikar, kendi, alat merokok, dan sebagainya. Lembu Mangkurat dipersilakan masuk ke ruang tamu istana didampingi oleh empat orang patih yang duduk di belakangnya.

Tak lama kemudian Patih Gajah Mada memasuki ruang tamu. Beliau menyalami tangan Lembu Mangkurat, kemudian menanyakan maksud kedatangannya. “Kami datang untuk menghadap Raja Majapahit”! kata Lembu Mangkurat. Kemudian Patih Gajah Mada menanyakan lagi apa gerangan yang diinginkan Lembu Mangkurat yang lain. Kalau diperkanankan ia akan membawa anak Raja Majapahit ke Negara Dipa untuk dikawinkan dengan Putri Junjung Buih, raja dari kerajaan Negara Dipa. Sesudah itu Lembu Mangkurat juga menyerahkan bingkisan-bingkisan yang berharga.

Patih Gajah Mada kemudian menerangkan bahwa baginda tidak mempunyai anak lagi. Enam orang putra-putri telah kawin semuanya. Kemudian Lembu Mangkurat menerangkan bahwa ia hanya menghendaki putera Raja Majapahit yang diperoleh dari bertapa. Akhirnya Raja Majapahit berjanji akan menyerahkan sesudah tujuh hari kepada Lembu Mangkurat. Kemudian Raja Majapahit meninggalkan ruang tamu dengan diiringi bunyi gamelan. Patih Gajah Mada ditunjuk untuk menjamu Lembu Mangkurat beserta pengiringnya.

Tujuh hari tujuh malam secara terus-menerus diadakan perayaan untuk menghormati tamu dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan seperti topeng, wayang orang, wayang purwa, wayang gedog, dan sebagainya. Selain itu, diadakan pula pertandingan ketangkasan keprajuritan. Setelah tiba waktunya, benarlah raja dengan ikhlas menyerahkan putranya yang bernama Raden Putra. Lembu Mangkurat mendapat banyak hadiah dari Raja Majapahit untuk dibawa pulang seperti dua payung besar, dua payung kertas, dua bedil cacorong, satu keris Jaka Piturun, satu gamelan Si Rarasati, satu babande Si Macan, satu pepatuk Si Mundaran.

Raden Putra pun diusung dalam tandu dibawa menuju ke pelabuhan. Iring-iringan kapal berangkat dengan segera dan dalam empat hari sampailah di Pendamaran.

Angin tiba-tiba berhenti bertiup, reda, teduh, dan laut menjadi tenang. Apapun juga telah diperbuat, namun kapal yang ditumpangi Raden Putra tak juga bergerak. Semuanya telah putus asa. Ketika itu berkatalah Raden Putra bahwa ada dua ekor naga putih, yang merupakan rakyat dari Putri Junjung Buih melilit dan menahan kapal. Raden Putra menyatakan bahwa dia siap melompat ke laut untuk mengusirnya. Sekarang Lembu Mangkurat mengakui kelebihan Raden Putra. Lembu Mangkurat yang semula tidak menunjukkan ketakutan terhadap Raja Majapahit, kini menghatur sembah kepada Raden Putra. Raden Putra meminta supaya menunggu tiga hari kepada Lembu Mangkurat. Jika sesudah tiga hari belum timbul juga, haruslah dilakukan puja bantani, karena dengan melakukan puja tersebut tentu dia akan segera timbul kembali.

Dengan hati yang berdebar-debar setelah mereka menunggu selama tiga hari, tetapi Raden Putra belum timbul juga. Wiramartaspun lalu diutus lebih dahulu untuk mengambil kerbau, kambing, dan ayam ke Negara Dipa. Diapun juga diwajibkan untuk membawa menteri-menteri untuk menyambut segala hadiah dari Raja Majapahit. Setelah Wiramartas tiba di Negara Dipa membawa berita, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa pun memerintahkan menteri-menteri berlayar ke Pendamaran.

Sesudah diadakan upacara puja bantani tujuh hari tujuh malam, tampaklah tiba-tiba Raden Putra muncul ke permukaan air dengan muka berseri-seri dan bercahaya, memakai baju sutera kuning yang indah dan menakjubkan, serta kaki Raden Putra bepijak di atas sebuah gong besar. Setelah Raden Putra naik ke geladak kapal, Lembu Mangkurat mengait gong besar itu dengan paradah. Oleh karena itu, gong besar tersebut sampai sekarang tetap dikenal dengan nama Si Rabut Paradah.

Raden Putra selanjutnya bergelar Suryanata. Surya artinya matahari, nata artinya raja. Tempat berhenti dan memuja di Pendamaran itu sampai sekarang dinamai Perbantanan.
Kemudian pelayaran diteruskan menyusuri sungai menuju Negara Dipa. Suryanata mendapat tempat tinggal di istana yang pernah didiami oleh Empu Jatmika. Dari daerah Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Pitap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sabangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang datanglah rakyat berduyun-duyun menyampaikan penghormatan kepada Raden Suryanata. Empat puluh hari, empat puluh malam lamanya diadakan perayaan dan pertunjukan, wayang, topeng, rakit, joget. Pada tengah malam pemuda-pemudi para pembesar kerajaan mendirikan padudusan (tempat upacara mandi), sedang orang-orang yang disebut “kadang haji” diperintahkan untuk mengambil air guna upacara perkawinan. Istana, pagungan, sitiluhur dan paseban dihiasi dengan indah.

Dari segala pelosok membanjirlah rakyat hendak menyaksikan dan mengagumi kemeriahan upacara perkawinan Putri Junjung Buih dengan Raden Putra Suryanata. Pada hari upacara padudusan, Suryanata memakai pakaian upacara perkawinan, demikian pula halnya dengan Raja Junjung Buih. Putri Junjung Buih berpakaian dengan hanya boleh dihadiri oleh empat puluh orang gadis dan wanita-wanita dari pembesar istana. Sebagai selendang dipakaikanlah kain yang dikenakan puteri ketika baru timbul dari dalam air. Putri Junjung Buih mempunyai pengiring empat puluh orang gadis yang jelita. Semuanya memakai baju sutera kuning, sedang pengiring buat Suryanata adalah anak-anak para menteri yang diwajibkan antara lain membawa alat-alat merokok, alat menginang, tikar dan sebagainya. Baik kaki mempelai perempuan maupun kaki mempelai laki-laki dibungkus dengan sutera kuning.

Setelah Suryanata selesai berpakaian, diapun melangkah keluar, dan tiba-tiba terdengarlah suara: “Oh Raden Suryanata, janganlah turun sebelum memakai Mahkota dari langit. Mahkota ini sebagai tanda menjadi raja lebih besar dari raja-raja di bawah angin”. Selanjutnya suara gaib itu menerangkan pula, bahwa mahkota itu mempunyai sifat kesaktian dapat menjadi lebih berat atau menjadi lebih ringan, atau menjadi lebih besar atau menjadi lebih kecil. Hanyalah kepada siapa mahkota ini cocok, dialah yang dapat menjadi raja. Dengan sangat khidmat Raden Suryanata mendengarkan suara itu dan kemudian dengan kain kuning yang dibuat oleh para gadis disambutnyalah mahkota itu dan diletakkan di kepala. Raden Suryanata kemudian duduk dalam sebuah usungan.

Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan rentetan dentuman bedil serta tepuk sorak dari rakyat, maka usungan pun diusung menuju istana mempelai perempuan. Sampai di sini maka Putri Junjung Buihpun dijemput dan arak-arakan terus menuju ke padudusan. Kedua mempelai turun dari usungan dan duduk di atas empat kepala kerbau dan kemudian naik di panggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.

Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara terkemuka dan penghulu dari bujangga-bujangga di padudusan. Dengan penuh hormat dan khidmat Lembu Mangkurat mula-mula menyiramkan air mandi di atas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megatsari, Temenggung Tatah Jiwa, dan penghulu tertinggi dari bujangga-bujangga, yang melakukan penyiraman sambil mengucap mantera dan doa selamat. Ketika telah selesai dengan upacara itu, ditaburkanlah beras kuning dan mata uang berpuluh-puluh ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan rentetan dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.

Kedua mempelai dibawa ke istana. Di sini kedua pengantin makan bersama-sama dengan nasi adap-adap, sedangkan menteri-menteri pun mendapat bagiannya pula. Sesudah berlangsung tiga hari, tiga malam, barulah kedua mempelai berkumpul, pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang menggembirakan ini, gong Si Rabut Paradah dipalu, sedang rarancakan Si Rarasati dibunyikan dan senapan-senapan ditembakkan berdentum-dentuman. Kebiasaan seperti ini masih terus berlaku terutama pada upacara perkawinan kaum bangsawan.

Masih tujuh hari tujuh malam perayaan diteruskan bertempat di Paseban. Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, dan kecakapan bermain senjata. Keempat puluh orang anak dara mendapat kewajiban masing-masing, diantaranya menjadi parakan, penjogetan, penjaga tempat tidur, makanan, minuman, sirih pinang, dan alat perhiasan.

Setiap Sabtu raja memberikan kesempatan bawahan dan rakyat untuk menghadapnya di Sitiluhur. Tidak berapa lama kemudian, permaisuri hamil. Karena permaisuri mengidam, ingin sekali memakan buah jambu dipa, maka dikirimlah utusan ke Majapahit untuk mengambilkan buah yang diinginkan itu. Sekadar bahan bingkisan untuk Raja Majapahit dikirim seperti lilin, damar, rotan, tikar, dan dua buah intan yang besar.

Kapal berlayar di bawah pimpinan nakhoda Lampung yang segera sampai di Majapahit. Dengan perantaraan Patih Gajah Mada, beliau dibawa menghadap Raja Majapahit. Raja sangat girang setelah mendengar berita yang menggembirakan itu dan dengan segera menitahkan menyerahkan buah-buahan yang diinginkan dengan ditaruh di dalam kotak emas. Nakhoda Lampung segera mohon diri dan berlayar kembali dengan membawa hadiah-hadiah yang berupa beras, kelapa, gula, minyak kelapa, asam kamal, bawang, rempah-rempah dan kain-kain batik yang indah. Setibanya di Negara Dipa, ia dianugerahi pula oleh Maharaja Suryanata karena telah berhasil dengan baik menjalankan perintah yang dititahkan kepadanya.

Setelah cukup bulannya, dan harinya, permaisuripun melahirkan seorang Putra, yang diberi nama Raden Suryaganggawangsa. Peristiwa ini dirayakan dengan membunyikan Si Rabut Paradah, gamelan Si Rarasati, dan senapan-senapan. Kebiasaan ini masih diadakan pada setiap lahirnya anak raja berikutnya.

Beberapa tahun kemudian permaisuri melahirkan kembali seorang putra yang bernama Raden Suryawangsa. Di zaman itu yang takluk kepada Maharaja Suryanata adalah raja-raja Sukadana, Sanggau, dan Sambas, kepala-kepala daerah Batang Lawai, dan Kotawaringin. Juga raja-raja Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau tunduk pula kepada Negara Dipa.

Pada suatu hari raja mengadakan pesta untuk segala Punggawa. Orang ramai bersuka ria. Dengan senda gurau dan gelak tawa. Tetapi sekonyong-konyong raja mengabarkan berita yang mengejutkan mereka, bahwa raja dan permaisuri akan “kembali ke asal”. Oleh karena itu, kedua putra mereka dipercayakan dibimbing atau diasuh Lembu Mangkurat. Rakyatnya diperingatkan jangan meniru-niru pakaian bangsa lain, dan adat serta susunan pemerintahan hendaklah menurut Jawa. Sebab tidak ada satu daerah di bawah angin yang akan dapat menyaingi Jawa. Jadi janganlah pernah menyimpang dari adat Majapahit. Selanjutnya raja mengulangi peringatan raja yang terdahulu, yaitu jangan menanam lada untuk perdagangan karena hal ini akan membawa runtuhnya negara. Juga jangan sekali-sekali menangkap orang-orang yang celaka oleh kekaraman kapal. Setelah mengucapkan amanat dan pesan itu, dengan tiba-tiba lenyap dan gaiblah raja beserta permaisuri dari pandangan rakyat yang merasa heran dan takjub. Seluruh negara turut bersedih dan berkabung.

Sebagai pengganti Maharaja Suryanata, dinobatkanlah Raden Suryaganggawangsa di padudusan dan di sinilah raja memakai mahkota yang datang dari langit. Setelah Raden Suryaganggawangsa memerintah, rajapun memperkenankan pulang gadis-gadis yang menjadi dayang Maharaja Suryanata. Raja memberi hadiah berupa pakaian dan alat-alat perkakas rumah. Bagi mereka yang ingin kawin, dikawinkan oleh raja.

Setelah Maharaja Suryanata, begitupun Maharaja Suryaganggawangsa memberikan pula kesempatan untuk menghadap setiap hari Sabtu dengan bertempat di Sitiluhur. Lembu Mangkurat diangkat menjadi Mangkubumi, sedang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa adalah sebagai pengawal. Di bawahnya sebagai jaksa adalah Patih Baras, Patih Wasi, Patih Luhur dan Patih Dulu. Kemudian empat orang Menteri Kemakmuran, Sang Panimba Sagara, Sang Pangaruntun Manau, Sang Pambalah Batung dan Sang Jampang Sasak, yang mempunyai kekuasaan memerintah atas empat puluh orang pasukan keamanan. Juga saudara raja, Pangeran Suryawangsa yang mendapat gelar Dipati mempunyai pula seribu pengiring yang setiap saat siap menerima perintah Mangkubumi.

Lembu Mangkurat selalu mendorong beliau agar cepat beristri karena raja belum mempunyai permaisuri. Namun semua dorongan dan anjuran itu tidak berhasil. Pada suatu hari raja berkata bahwa dia mendengar suara dari paduka ayahanda yang telah gaib (meninggal dunia), mengatakan bahwa raja harus kawin dengan anak Dayang Diparaja. Lembu Mangkurat merasa malu dan khawatir karena dimanakah harus mencari permaisuri yang dimaksudkan itu? Arya Megatsari dan Temenggung Tatah Jiwa tidak dapat pula memberikan keputusan.

Oleh karena itu, dicobalah mengirimkan utusan ke semua pelosok, tetapi kebanyakan pulang dengan tangan hampa. Pada suatu hari, rombongan Singanegara (polisi) yang di dalam perjalanan memudiki sungai sampai di Tanggahulin, di pangkalan Arya Malingkun. Di sini mereka menemui seorang gadis yang sedang mandi di bawah pengawasan seorang pengawalnya. Ketika dia melihat rombongan Singanegara, ia terkejut dan berteriak “He, Dayang Diparaja, lekas! Itu datang rombongan Singanegara (polisi)”. Ketika rombongan Singanegara mendengar nama ini, mereka segera berdayung pulang kembali untuk memberi kabar pada Lembu Mangkurat. Singantaka dan Singapati, keduanya kepala dari barisan Singanegara (polisi). Mendapat perintah untuk meminta kepada Arya Malingkun, anaknya, guna dijadikan permaisuri raja. Mereka berangkat dengan empat puluh orang perempuan yang akan menjadi pengiring menuju ke Tanggahulin.

Arya Malingkun ternyata tidak sudi menyerahkan anaknya, walaupun sudah dijanjikan anaknya akan menjadi permaisuri, bukanlah untuk dijadikan dayang-dayang, penjogetan atau gundik. Dia tetap berkeras hati menolak. Utusanpun terpaksa pulang tanpa membawa hasil. Ketika Lembu Mangkurat yang mendengar perintahnya ditolak menjadi sangat marah dan mengambil keputusan untuk pergi sendiri ke Tanggahulin. Lembu Mangkurat berangkat dengan perahu yang memakai tanda kebesaran dengan diiringi oleh punggawa-punggawanya. Tidak berapa lama, tibalah dia di Tanggahulin. Ketika orang-orang di sana melihat kedatangan Lembu Mangkurat, orang-orang tersebut menjadi khawatir dan takut. Arya Malingkun datang dengan segera mengelu-elukan dan mempersilakan Lembu Mangkurat masuk ke dalam rumah. Dengan gusar dan marah Lembu Mangkurat berkata, apakah Arya Malingkun bersedia untuk menyerahkan anaknya atau tidak? Sekadar untuk menakut-nakuti anaknya, Lembu Mangkurat menikam tangannya dengan pedang. Arya Malingkun terkejut melihat Lembu Mangkurat sama sekali tidak terluka oleh senjata. Dengan agak ketakutan dia memerintahkan orang-orang segera menyuruh menjemput anaknya untuk diserahkan kepada Lembu Mangkurat. Setelah berhasil Lembu Mangkurat kembali bersama gadis tersebut untuk menghadap raja. Tetapi kemudian ternyata raja tidak mau kawin dengan Dayang Diparaja, karena yang diinginkan adalah anaknya. Sekarang timbul kesulitan yang harus dipecahkan. Siapakah yang harus mengawini gadis tersebut? Akhirnya semua sependapat dan setuju bahwa hanya Lembu Mangkuratlah yang pantas dan tepat untuk mengawini Dayang Diparaja. Perkawinan segera dilakukan. Perayaan perkawinan itu berlangsung selama tujuh hari lamanya.

Tidak berapa lama kemudian, Dayang Diparaja hamil. Walaupun telah cukup bulan dan harinya, dia belum juga melahirkan. Barulah sesudah lima belas bulan terasa menderita sakit selama tiga hari hendak bersalin. Dengan bermacam-macam cara dan syarat, dicoba untuk menjauhkan segala pengaruh jahat tetapi semuanya sia-sia belaka, bahkan Lembu Mangkurat sendiri telah putus asa. Tiba-tiba dari dalam kandungan ibu yang sakit itu terdengar suara: “Ooh ayah Lembu Mangkurat, tidaklah melalui jalan yang mudah anaknda akan lahir, tetapi ananda akan keluar dari sisi kiri ibunda”, bedahlah dan perbuatlah ini untuk anaknda”. Sejurus lamanya Lembu Mangkurat di dalam kebimbangan. Tetapi ternyata kewajibannya untuk mempersembahkan seorang permaisuri kepada raja adalah beban yang lebih berat lagi.

Lembu Mangkurat membedah sisi kiri perut Dayang Diparaja. Setelah dibedah, Dayang Diparaja meninggal sesudah berpesan supaya menjaga baik-baik anaknya. Seorang anak yang cantik lahir dengan perhiasan yang biasanya dipakai oleh gadis-gadis. Lembu Mangkurat memberikan perintah supaya menyusui anaknya yang diberi nama Putri Huripan. Tiga hari lamanya Putri Huripan tidak mau menyusu. Akhirnya dia sendiri mengatakan bahwa hanya akan minum air susu dari kerbau putih. Ayahnya, Lembu Mangkurat dengan segera memenuhi permintaan tersebut. Sejak itulah terjadi pantangan (tabu) bagi keturunannya untuk memakan daging kerbau putih.

Ketika Arya Malingkun dan istrinya mendengar kematian anaknya, Dayang Diparaja, merekapun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak anak yang mereka dicintai tersebut. Sebelum meninggal dunia, Arya Malingkun memakan sirih dan pinang muda, sedangkan istrinya memakan sirih dan pinang tua. Mereka memerintahkan pesuruhnya untuk menanam sepah itu di dalam tanah. Dari sepah tersebut tumbuh jariangau dan pirawas yang akan berguna untuk obat cucunya Putri Huripan. Inilah asal mula jariangau dan pirawas tumbuh di Tanggahulin yang sejak saat itu disebut Huripan.

Ketika Putri Huripan sudah akil baligh, dia pun dipersembahkan kepada Raja Suryaganggawangsa sebagai calon permaisuri. Dengan segala upacara kebesaran, perkawinannya dirayakan. Sebagaimana lazimnya, kedua mempelai dimandikan di pancuran air (padudusan) dan kemudian diarak kembali ke istana. Beberapa lama kemudian, permaisuripun melahirkan seorang Putri bernama Putri Kalarang. Setelah Putri ini dewasa, dia dikawinkan dengan saudara raja, Pangeran Suryawangsa. Karena hanya Pangeran Suryawangsa sajalah yang layak untuk mengawininya.

Putri kalarang kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Carang Lalean. Raden Suryawangsa juga masih mendapat karunia seorang putri yang diberi nama Putri Kalungsu. Atas keinginan Raja Suryaganggawangsa, kedua anak ini, Raden Carang Lalean dan Putri Kalungsu dikawinkan. Pada waktu inilah Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa meninggal dunia.

Pada suatu hari, semua keluarga dan pegawai istana sedang berkumpul dan bersenang-senang, maharaja Suryaganggawangsa dan putri Huripan menerangkan bahwa mereka akan “kembali ke asal”. Kepada Lembu Mangkurat diamanatkan supaya Raden Carang lalean dan Putri Kalungsu diajarkan adat turun-temurun dari raja-raja terdahulu. Lembu Mangkurat mencoba supaya raja dan permaisuri memalingkan pikiran agar menunda “kembali ke asal”. Tetapi sebelum itu, keduanya telah “menghilang” dari pandangan semua mata yang hadir.

Atas perintah Lembu Mangkurat, dibangunlah sebuah mahligai dan padudusan. Dengan disertai tembakan meriam dan tabuhan gamelan, Raden Carang Lalean dan Putri Kalungsu dimandikan dengan segala upacara. Kemudian raja baru itu pun meletakkan mahkota di atas kepalanya. Di dalam peraturan negara tidak ada perubahan yang diadakan. Setiap hari Sabtu tetap diadakan kesempatan untuk menghadap raja. Tak lama kemudian permaisuri melahirkan seorang putra yang dinamai Raden Sekar Sungsang. Ketika putra raja itu berumur enam tahun, raja menerangkan akan “kembali ke asal”. Dia menyerahkan pemerintahan kepada Lembu Mangkurat, sementara putra raja belum dewasa. Kemudian raja pun lenyap dari pandangan mata hingga menimbulkan kesedihan seluruh rakyat dan keluarga istana.

Tidak lama sesudah itu, suatu waktu Putri Kalungsu membuat kue juadah. Raden Sekar Sungsang yang masih muda belia itu kadang-kadang mendekati ibunya untuk meminta makan. Karena juadah itu belum masak, ibunya menyuruh Raden Sekar Sungsang pergi dahulu. Tetapi akhirnya, Raden Sekar Sungsang tidak dapat lagi menahan selera nafsunya. Diambilnyalah sedikit kue juadah itu. Melihat hal ini, ibunya menjadi gusar. Dia kemudian memukul Raden Sekar Sungsang dengan sebuah sendok gangsa ke kepalanya.

Dengan kepala yang bercucuran darah, Raden Sekar Sungsang lari yang makin lama makin jauh. Akhirnya dia tidak diketahui siapa pun juga. Kemudian dia dilihat oleh seorang pedagang bernama Juragan Balaba yang datang ke Negara Dipa untuk berniaga. Juragan Balaba waktu itu telah menduga bahwa anak tersebut bukanlah anak yang biasa saja, karena dari tubuhnya mengeluarkan cahaya yang bersinar. Karena anak buah kapal ingin segera berangkat, Juragan Balaba pun memutuskan untuk segera berlayar membawa Raden Sekar Sungsang.

Tak lama kemudian permaisuri menitahkan mencari anaknya ke semua pelosok tapi sia-sia saja usahanya itu. Hanya ada beberapa orang saja yang menerangkan bahwa mereka melihat sebuah kapal berlayar dengan membawa seorang anak, tetapi mereka juga tidak dapat memastikan apakah anak itu Raden Sekar Sungsang yang sedang dicari? Walaupun kapal itu dikejar namun tak ketemu juga karena sudah menuju laut lepas. Lembu Mangkurat kemudian menitahkan menyiapkan empat buah kapal untuk pergi ke seberang lautan. Akhirnya kapal-kapal itu sampai di Surabaya. Di sinilah diadakan penyelidikan dimana-mana, tetapi tak seorang pun dapat memberikan penjelasan.

Setiap saat Lembu Mangkurat mengirim penyelidik-penyelidik tetapi jejak anak itu tetap tidak ditemukan juga. Raden Sekar Sungsang yang sementara itu bergelar Ki Mas Lelana, telah dianggap Juragan balaba dan istrinya sebagai anak kandung mereka sendiri. Ayah dan bundanya ini ingin segera dia beristri, tetapi Ki Mas Lelana sendiri belum mempunyai keinginan. Juga setelah ayah angkatnya itu meninggal, Ki Mas Lelana tetap tinggal di Surabaya.

Pada suatu hari dia menerangkan cita-citanya untuk pergi ke Negara Dipa bersama dengan Juragan Dampu Awang untuk berniaga. Mula-mula ibu angkat Ki Mas Lelana menahannya, tetapi karena Ki Mas Lelana sudah berketetapan hati untuk pergi, dengan perasaan sedih ibu angkatnya akhirnya mau melepas kepergiannya itu. Dengan segera mereka menyeberangi lautan. Tatkala mereka sampai di Negara Dipa, maka Dampu Awang dan Ki Mas Lelana mulai berniaga. Lembu Mangkurat juga ikut berbelanja pada Dampu Awang dan Ki Mas Lelana. Bahkan Lembu Mangkurat mengharap supaya Ki Mas Lelana tinggal di Negara Dipa sampai musim yang akan datang dan dia akan meyerahkan sebuah rumah dengan pekarangannya. Juragan Dampu Awang diperintahkan supaya memberitahukan hal ini kepada ibu angkat Ki Mas Lelana, bahwa dia akan kembali ke Jawa tahun depan.

Sementara itu Lembu Mangkurat mencoba menganjurkan Putri Kalungsu supaya kawin lagi. Dia mengabarkan bahwa seorang saudagar muda turunan dari Raja Majapahit, muda dan tampan sekarang sedang tinggal di rumahnya. Mula-mula permaisuri itu tidak mau, tetapi kemudian ia berubah pikiran dan meminta supaya orang asing itu datang menghadapnya pada hari Sabtu.

Dengan suatu upacara kebesaran, keesokan harinya Lembu Mangkurat yang berpakaian indah dan memakai tanda-tanda kebesaran menuju ke Sitiluhur. Begitu juga dengan Ki Mas Lelana. Ketika tiba di Sitiluhur, duduklah dia di belakang Lembu Mangkurat. Tatkala Putri Kalungsu memandang ke arah pemuda yang gagah itu, maka putri pun jadi jatuh cinta kepadanya. Tatkala Lembu Mangkurat meminta jawaban, Putri Kalungsu menyatakan persetujuannya untuk kawin.

Sebuah padudusan didirikan dalam tujuh hari lamanya. Perkawinan itu dilakukan dengan adat istiadat raja-raja yang terdahulu. Sebagaimana diketahui, Ki Mas Lalana adalah keturunan Raja Majapahit. Oleh karena tidak dilahirkan ke dunia melalui proses bertapa, dia tidak dapat menjadi seorang raja. Seandainya dari perkawinan itu lahir seorang putra, dialah yang akan menjadi raja, karena ibunya berasal dari raja yang lahir dari kekuatan gaib. Dengan demikian, untuk sementara waktu Lembu Mangkurat tetap menjadi wakil raja di Negara Dipa.

Ketika suatu hari Putri Kalungsu sedang membersihkan kepala suaminya, dia melihat tanda bekas luka dan menanyakan sebab-sebabnya. Mula-mula Ki Mas Lelana menerangkan bahwa ia sendiri pun tidak mengetahuinya. Tetapi ketika istrinya terus-menerus mendesak, akhirnya dia menceritakan bagaimana kisahnya ketika masih kecil. Pada suatu hari dia mendapat pukulan dikepala dari ibunya hingga luka, karena meminta berulang-ulang juadah yang sedang dengan ditanak sehingga membuat gusar hati ibunya.

Diceritakannya pula bahwa dia kemudian lari dan beberapa tahun tinggal di Jawa karena dibawa oleh Juragan Balaba. Selain itu dia tidak tahu apa-apa. Dengan terperanjat Putri Kalungsu menolak kepala suaminya dari pangkuannya. “Jika demikian engkau adalah anakku Sekar Sungsang” menjerit Putri Kalungsu. Ki Mas Lelana meniarap dengan menangis di kaki ibunya dan memohon ampun serta mengharap supaya membunuhnya.

Putri Kalungsu memanggil Lembu Mangkurat dan kepadanya diceritakan peristiwa yang mengejutkan itu. Lembu Mangkurat tidak mengambil suatu keputusan, mengharap supaya permaisuri sendiri harus memutuskan, apakah yang harus dibuat? Dengan ini permaisuri menetapkan bahwa mereka harus bercerai untuk selama-lamanya, dan permaisuri mengganti nama anaknya dengan Raden Sari Kaburungan.

Selanjutnya sejak itu Raden Sari Kaburungan dan ibunya, Putri Kalungsu mempunyai tempat tinggal yang terpisah. Kemudian Raden Sari Kaburungan dinobatkan menjadi raja.

Setahun kemudian raja memindahkan kedudukan negara ke Muara Hulak. Kedudukan baru itu disebut Negara Daha dan sampai sekarang ini tempat itu masih bernama Negara. Di Muara Bahan dibuat sebuah pangkalan (pelabuhan) yang kemudian ramai sekali didatangi para pedagang.

(Ras, Johanes Jacobus. 1990. Hikayat Banjar, Disertasi Leaden, Terjemahan oleh Siti Hawa Salleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.)




Tidak ada komentar:

Ampun Blog

Foto Saya
Lahir dan dibesarkan di Nagara jadi sebuah alasan saya harus menulis tentang tanah kelahiran, tumpah darah, dan juga warisan nenek moyang. Ada banyak hal menarik yang bisa kita "ungkai" dari banua Daha tercinta. Dari sejarahnya yang tua, budaya, tata ruang, hingga interaksi sosialnya yang khas, sangat patut untuk diabadikan melalui sebuah catatan yang bisa dibaca setiap orang kapan dan dimanapun. Untuk itulah Blog sederhana ini mencoba meraih celah melalui tulisan yang sederhana pula. Dengan segala kefakiran ilmu, penulis berusaha mengungkapkan ide dan gagasan juga pengalaman yang dimiliki.
 
 
Blogger Templates